Senin, 02 Oktober 2023
Opini

Indonesia Negara Nomor Satu Pemain Judi Online di Asia Tenggara? Ini Pendapat Para Pakar Ilmu Sosial dan Filsafat

profile
Ratna Satyavati

10 September 2023 17:45

1.6k dilihat
Indonesia Negara Nomor Satu Pemain Judi Online di Asia Tenggara? Ini Pendapat Para Pakar Ilmu Sosial dan Filsafat
Peringkat negara pemain judi online Asia Tenggara (Drone Emprit/Ismail Fahmi)

Kota Malang, SJP - Judi online merupakan penyakit sosial yang terus diberantas oleh pemerintah dan pihak berwenang. Seiring dengan hal ini, terdapat data mencengangkan dari Drone Emprit/Ismail Fahmi yang menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama negara pemain judi online di Asia Tenggara.

Tentunya hal ini menjadi pertanyaan besar, mengingat Indonesia hari ini adalah negara yang terkenal akan religiusitas dan kontrol sosialnya yang tinggi.

Bagaimana dan mengapa hal ini bisa terjadi?

Mengulik tentang serba-serbi dunia perjudian, kali ini suarajatimpost.com berkesempatan untuk mengobrol dengan dua orang pakar ilmu sosial dan ilmu filsafat mengenai fenomena judi online dan 'prestasi' Indonesia sebagai peringkat pertama negara pemain judi online di Asia Tenggara.

Seperti apa pendapat para pakar mengenai fenomena judi online ini? Simak bersama suarajatimpost.com.

Judi: Sejarah, Budaya dan Perkembangannya di Indonesia

Drs Agus Bandono M Fil, seorang peneliti sekaligus konsultan kelembagaan memaparkan bahwa dari segi sejarah dan budaya, di beberapa daerah, judi memang menjadi bagian dari budaya masyarakat. Dalam hal ini dirinya mengungkap fenomena judi di Jawa, antara lain di Ngawi, Jawa Timur, daerah tempat asalnya.

"Ada tradisi lama yang turun temurun. Hal ini menempel pada acara budaya (dan menjadi) serupa atraksi. Misal sabung ayam, cembengan, gambyong, karapan sapi, orek orek, tayuban, mitoni, tujuh hari kematian, pasti ada judinya. Dengan dalih iseng, meramaikan. Di Jawa dulu begitu. Saya alami waktu kecil," ungkap pria berzodiak Taurus kelahiran 1965 ini.

Lebih lanjut Agus menuturkan, dalam budaya Jawa pada zaman dahulu, judi yang menempel pada atraksi budaya belum menyentuh pada ranah moralitas.

"Artinya, perjudian masih dipandang sebagai sebatas permainan saja dan bisa dianggap lumrah," sambungnya.

Kemudian, lanjut Agus, keadaan pun berubah seiring dengan berkembangnya nilai agama yang membuat judi dipandang sebagai sesuatu yang haram dan merupakan perbuatan maksiat.

"Di sini terjadi benturan antara budaya dengan moralitas atau agama. Meminjam istilah Emile Durkheim, judi yang tadinya merupakan hal yang profan kemudian bersentuhan dengan yang sacred," tutur peraih gelar master dalam bidang filsafat dari Universitas Indonesia ini.

Dari sisi psikososial, Agus melanjutkan, perilaku judi yang terjadi di hari ini terbentuk oleh sebab berbagai faktor.

1. Menjangkiti orang yang banyak waktu, setengah menganggur
2. Bagi lapisan masyarakat ekonomi bawah yang pesimis, perjudian seolah mendatangkan optimisme, harapan dan peruntungan baru.
3. Pada lapisan masyarakat menengah ke atas hingga kelas atas, terdapat faktor yang berbeda terkait penyebab perjudian. Pada kelas menengah ke atas atau jetset, pelaku perjudian berposisi sebagai bandar dan/atau bermain di tempat perjudian kelas kakap sebagai pemenuhan kebutuhan tersier atau kesenangan.

Ketiga faktor tersebut merupakan faktor pembentuk perilaku judi. Terkait judi online, Agus berpendapat bahwa faktornya tidak berbeda dengan judi biasa.

"Judi online cuma memanfaatkan teknologi saja. Judi bentuk baru. Tapi secara hirarki tetap sama. Yang kaya jadi bandar. Yang miskin jadi pemain. Omzetnya memang menggiurkan," tutur pria asli Ngawi ini.

Pengaruh Tingkat Ekonomi dan Pendidikan Terhadap Perilaku Judi

Selain dari faktor sejarah dan budaya terhadap perkembangan judi di Indonesia, terdapat faktor lain yang tidak dapat dinafikkan, yakni pengaruh ekonomi dan pendidikan terhadap perilaku judi.

Kedua hal tersebut menjadi pendapat Dr Sopril Amir, seorang pengamat komunikasi publik yang juga menggemari filsafat dan sosiologi.

Sopril mengatakan, dalam konteks judi online, kemiskinan dan pendidikan yang rendah bisa menjadi salah satu akar dari perilaku perjudian.

Kepada suarajatimpost.com pada Sabtu (9/9/2023) Sopril menuturkan, "Kegagalan mengalami mobilitas sosial ekonomi karena pendidikan rendah dan tidak mendapatkan pekerjaan mendorong sebagian orang untuk meraih sukses dengan jalur singkat seperti ikut perjudian," ucapnya.

Lebih lanjut Sopril juga menuturkan, kontras antara situasi bangsa Indonesia hari ini yang dikenal cenderung religius, ditambah hukum formal yang juga melarang judi, dihadapkan dengan fakta bahwa perilaku judi tetap marak, mendatangkan beragam asumsi.

Dalam hal ini, alumni Fisipol UGM ini berpendapat tentang fenomena miskin makna dalam hal-hal yang semestinya dipahami dan diaplikasikan secara penuh, misalnya pada norma agama dan norma hukum.

"Bisa jadi agama kita hanya ritual simbolik yang intens tapi miskin makna, tak terkait dengan praktik sosial lainnya. Hukum kita juga mungkin kolot karena tidak cukup siap untuk digunakan di ruang virtual, yang mana membuat judi online jadi ruang bermain baru yang relatif lebih minim jangkauan hukum," ujarnya.

Ditanyai tentang solusi dari tingginya angka pelaku judi online di Indonesia, pria asal Palembang yang berdomisili di Bogor ini mengatakan, memperjelas asal muasal perilaku judi pada sebuah kelompok masyarakat melalui berbagai pengkajian dan pendekatan keilmuan penting untuk dilakukan guna menemukan solusi efektif dalam penanganan perilaku judi.

"Perlu diperjelas dulu muasalnya, misalnya apakah ini memang pelarian dari pemiskinan atau ini sebetulnya memang gejala antropologis manusia yang suka pada permainan spekulatif atau lainnya. Dari situ baru bisa diusulkan solusi yang lebih pas, bukan sekadar dicocok-cocokkan dengan sistem hukum yang ada," ujarnya.

Judi online dan fenomena penyimpangan sosial lain merupakan masalah yang mesti dipikirkan bersama. Mencari akar permasalahan dari perilaku judi atau penyimpangan sosial apapun itu, penting untuk dilakukan guna mendapatkan jawaban dan solusi efektif terhadap setiap permasalahan sosial yang terjadi.

Selain itu, terus mempersenjatai diri melalui pendidikan, pengetahuan dan kreativitas dalam menciptakan sumber-sumber penghidupan merupakan hal yang sudah semestinya dikuasai oleh setiap individu dalam masyarakat agar setiap individu dalam masyarakat dapat hidup sejahtera dan bahagia.

Sebab, mengutip Aristoteles, “Kemiskinan adalah induk dari revolusi dan kejahatan."(*)

Pewarta: Ratna Satyavati
Editor: Noordin

Tags
Anda Sedang Membaca:

Indonesia Negara Nomor Satu Pemain Judi Online di Asia Tenggara? Ini Pendapat Para Pakar Ilmu Sosial dan Filsafat

Share

APA REAKSI ANDA?

0 Sangat Suka

0 Suka

0 Tertawa

0 Flat

0 Sedih

0 Marah

ADVERTISEMENT