Wartawan di Medan Peperangan

09 Februari 2023 10:58

Kota Malang, SJP – Saat terjadi perang Baratayudha, Puntadewa terdiam sejenak mendengar pertanyaan Pandhita Durna tentang kematian anaknya, Aswatama. Dalam dirinya juga sedang berkecamuk perang antara nilai-nilai surgawi dan syahwat duniawi.
Peperangan yang tak kalah dahsyat bagi Puntadewa atau dikenal juga dengan Yudhistira karena dia menjunjung kejujuran. Akibat perilaku luhurnya itu bahkan ada yang menyebut darahnya putih tidak tercemar angkara murka melalui topeng kepalsuan.
Tapi siapa sangka ujian kejujuran harus dihadapi dengan bisikan Bethara Kresna yang mendahului kedatangan Durna. Kresna sang pakar taktik kubu Pendawa menyampaikan agar Puntadewa berbohong dengan mengatakan Aswatama mati untuk melumpuhkan energi kesaktian Durna yang sangat menyayangi anaknya.
Padahal realita di kancah peperangan, Aswatama sebenarnya belum mati. Yang mati adalah seekor gajah bernama Hestitama, dibunuh Bima. Karena agitasi Kresna, maka mulai prajurit hingga panglima kubu Pendawa meneriakkan, “Aswatama mati.....Aswatama mati”.
Tentu saja Durna gelisah dan belingsatan mendengar kabar tersebut. Setiap kubu Pendawa ditanya, semuanya mengatakan Aswatama mati. Bahkan Pendawa bersaudara juga membenarkan kematian Aswatama. Hanya Puntadewa yang belum ditanya sebagai langkah akhir untuk mendapat kebenaran.
Bagi Durna, Puntadewa menjadi satu-satunya sandaran kebenaran. Bahkan legalisasi kejujuran Puntadewa mengalahkan para dewa sehingga kabar itu membutuhkan legitimasi. Sang pemilik legitimasi itu di mata Durna tak lain adalah Puntadewa yang juga muridnya.
Andai Puntadewa mengatakan Aswatama mati, kabar itu berarti benar adanya. Sebaliknya jika Puntadewa menyebut Aswatama masih hidup, Durna akan mengamuk sekaligus mencari sumber berita hoax.
Menghadapi situasi dilematis seperti itu, Puntadewa bingung. Jika dia jujur, kemenangan akan ada di pihak Kurawa melalui bantuan kesaktian Durna. Sebaliknya jika dia bohong, maka tangisan kalbu akan mewarnai sepanjang jalan kehidupannya meski imbalannya kemenangan bagi Pendawa.
Di mata Puntadewa, peperangan, peristiwa yang sangat tidak diinginkan, bukan berarti melakukan segala cara dan mengabaikan kehormatan terutama kejujuran.
Keputusanpun bulat. Puntadewa tetap bersikukuh jujur dengan segala konsekuensi yang bakal terjadi. Buat Puntadewa, kejujuran di atas segalanya. Kejujuran sejati dari nurani takkan tergerus oleh iming-iming kemuliaan sekalipun. Menurutnya, kemuliaan yang didapat dari kebohongan bersifat sementara dan singkat. Sesingkat tegukan aliran kopi melalui tenggorokan.
Karena itu ketika Durna mengonfirmasi kabar kematian Aswatama, maka Puntadewa menjawab dengan kepala tertunduk, ”Ya guruku, yang mati Hestitama.”
Durna yang dalam kondisi psikologis kacau-balau ketika mendapat jawaban awal, “Ya guruku...” makin porak-poranda. Hal ini membuat pendengarannya tidak utuh dengan kalimat lanjutan Puntadewa, “...yang mati Hestitama.”
Ditambah dengan suara lirih sebagai wujud kepribadian Puntadewa yang lemah lembut, maka kata 'Hestitama' terdengar 'Aswatama' di telinga Durna.
Secara singkat, Durna lunglai dan lengah karena menganggap berita kematian anak yang dicintainya terkonfirmasi dari sang pemilik legalisasi kejujuran, Puntadewa. Kelengahan Durna membuat kepalanya terpenggal sehingga memuluskan jalan kemenangan Pendawa di kancah peperangan Baratayudha.
Cerita kematian Durna di dunia pewayangan memang berakhir, sementara kehidupan nyata, wa bil khusus kehidupan dunia wartawan terus berlangsung sampai terompet Isrofil berkumandang.
Wartawan memang bukan Puntadewa meski ada juga yang berperan sebagai Durna, sosok cendekia dengan intelektual tinggi namun berhati busuk. Sosok wartawan Durna ini tak ragu melakukan jual beli informasi, membenturkan kawan hingga menjadi lawan, menuhankan kebohongan dan mengabaikan kejujuran.
Ah, jadi ingat sebuah obrolan singkat di warung kopi, bahwa profesi wartawan bakal masuk surga seperti halnya hakim, polisi, jaksa, pengacara, ustad, pendeta, dan berbagai profesi mulia lainnya.
Seorang wartawan senior lantas nyeletuk dengan serius, “Saya setuju profesi wartawan masuk surga.”
“Tapi apakah wartawannya ikut masuk surga, wallahu a'lam,” lanjutnya santai seraya mengunyah martabak yang sepintas mirip martabat.
Selamat merayakan Hari Pers Nasional
Pers Bebas, Demokrasi, Bermartabat
Noordin Djihad
Pemimpin Redaksi suarajatimpost.com
Tags
Wartawan di Medan Peperangan
APA REAKSI ANDA?
1 Sangat Suka
0 Suka
0 Tertawa
0 Flat
0 Sedih
0 Marah