Catatan Redaksi - Tradisi Jawa Lebaran Ketupat Cerminkan Kesalahan Manusia

Sedangkan makna filosofi Tradisi Lebaran Ketupat, yakni untuk saling mengakui kesalahan dan memaafkan. Sedangkan janur kuning yang membentuk ketupat diartikan sebagai penolak bala bagi orang Jawa. Dan anyaman rumitnya mencerminkan kesalahan-kesalahan yang diperbuat manusia

15 Apr 2024 - 17:45
Catatan Redaksi - Tradisi Jawa Lebaran Ketupat Cerminkan Kesalahan Manusia
Salah satu budaya dan tradisi yang hingga kini tetap dipertahankan, yakni tradisi Lebaran Ketupat setelah satu minggu Hari Raya Idul Fitri (ilustrasi/SJP)

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak ragam budaya dan tradisi. Sehingga budaya tersebut selalu dipertahankan, karena warisan peninggalan para leluhurnya. Seperti budaya Jawa memiliki banyak ragamnya, sehingga masyarakat tidak bisa meninggalkannya, meski saat ini masuk pada era digital. Dengan kekayaan budaya dan tradisi yang dimilikinya itu, maka dari turun temurun tetap mempertahankan budaya yang ditinggalkan para leluhurnya.

Salah satu budaya dan tradisi yang hingga kini tetap dipertahankan, yakni tradisi Lebaran Ketupat setelah satu minggu Hari Raya Idul Fitri. Sedangkan makna filosofi Tradisi Lebaran Ketupat, yakni untuk saling mengakui kesalahan dan memaafkan. Sedangkan janur kuning yang membentuk ketupat diartikan sebagai penolak bala bagi orang Jawa. Dan anyaman rumitnya mencerminkan kesalahan-kesalahan yang diperbuat manusia.

Ketupat adalah makanan yang dibuat dari beras dan dimasukkan dalam anyaman pucuk daun kelapa. Bentuknya unik, yakni seperti kantong segi empat, kemudian ketupat direbus dan di makan sebagai pengganti nasi. Sedangkan tradisi Lebaran Ketupat hingga kini masih mudah dijumpai di berbagai daerah yang didiami masyarakat Jawa. 

Tradisi Lebaran Ketupat sudah dikenal sejak 1700 Masehi, berdasarkan informasi dalam Hikayat Indraputra. Tradisi Lebaran Ketupat diperkirakan masuk bersamaan dengan proses Islamisasi di Jawa, yang mana Sunan Kalijaga atau Raden Said disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali mengenalkan tradisi tersebut.

Sunan Kalijaga mengenalkan dua kali Lebaran atau Badha, yakni Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Dengan nama lain Kenduri Ketupat, tradisi itu juga dikenal dengan istilah Syawalan yang menyimbolkan kebersamaan. Dan di masa itu, tradisi Lebaran Ketupat menjadi sarana dakwah Islam.

Diantaranya, yang diajarkan adalah cara bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta'ala (SWT), bersedekah, dan bersilaturahmi di hari fitri. Sedangkan makna dari Filosofi Tradisi Lebaran Ketupat sendiri, dari laman Nahdlatul Ulama (NU) Online, bahwa ketupat berasal dari kata bahasa Jawa “Ngaku Lepat”, yang artinya mengakui kesalahan. Dan ketupat tersebut membawakan makna filosofis untuk saling mengakui kesalahan dan memaafkan.

Sedangkan janur kuning yang membentuk ketupat diartikan sebagai penolak bala bagi orang Jawa. Sementara itu, anyaman rumitnya mencerminkan kesalahan-kesalahan yang diperbuat manusia. Ketika ketupat dibelah, warna putih yang tampak menggambarkan kebersihan dan kesucian usai mohon ampun dari kesalahan. Sedangkan beras sebagai bahan dasar yang dipakai menjadi lambang kemakmuran.  Ketupat biasanya didampingi dengan sajian opor ayam yang bumbunya disertai santan yang bermakna “Pangapunten” atau permohonan maaf.

Sementara itu, dari jurnal berjudul Tradisi Lebaran Ketupat di Kampung Jawa Kota Tomohon oleh Zulkarnaen Me'akhir Yanus Putra Hulu, bentuk segi empat atau segi lima ketupat mencerminkan prinsip “Kiblat Papat Lima Pancer”. Maknanya adalah bahwa ke mana pun manusia pergi, pasti akan selalu kembali kepada Allah SWT. Istilah ini juga dapat berarti empat macam nafsu manusia, yakni amarah, aluamah, supiah, dan mutmainah.

Dan keempat nafsu itu telah ditaklukkan selama menjalani ibadah puasa Ramadan, sehingga makan ketupat menyimbolkan bahwa keempatnya telah sukses dikekang. Sedangkan ketupat dengan segi lima berarti “Barang Limo Rak Keno Ucul”, atau lima hal yang tidak boleh terlepas, yang bermaksud lima waktu salat tidak boleh dilepas, yakni salat subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya.

Penulis: Cahyono, Pimpinan Redaksi (Pempred) SuaraJatimPost.com

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow