Dua Sisi Panahan Tradisional: Mengulik Perbedaan PERPATRI san FESPATI
PERPATRI dan FESPATI, dua organisasi panahan tradisional yang masing-masing mewakili filosofi unik, namun tetap membawa semangat seni dan budaya Indonesia (Ryan/SJP)
SURABAYA, SJP - Matahari pagi perlahan naik di atas Lapangan ABC Gelora Bung Tomo, Surabaya. Udara segar bercampur semangat para peserta Festival Olahraga Rekreasi Daerah (FORDA) Jatim II/2024.
Seperti melangkah ke dua dunia yang berbeda namun selaras, lapangan ABC GBT berlangsung secara berdampingan dua cabang olahraga panahan tradisional, masing-masing mewakili filosofi unik, yakni Persatuan Panah Tradisional Indonesia (PERPATRI) dan Federasi Seni Panahan Tradisional Indonesia (FESPATI).
Dari kejauhan, keduanya terlihat seperti ajang panahan sederhana yang mencerminkan tradisi. Namun, semakin dekat, perbedaan mulai terasa. Seperti dua sisi koin, PERPATRI dan FESPATI memiliki cara tersendiri untuk merayakan keindahan seni memanah tradisional.
Heru, Sekjen PERPATRI Nasional, menyambut ramah tim Suarajatimpost.com di salah satu sudut lapangan. Dengan semangat, ia menjelaskan bahwa bagi PERPATRI, panahan tradisional adalah lebih dari sekadar olahraga, namun sebuah cara untuk menjaga warisan leluhur.
"Ini bukan sekadar memanah, dalam PERPATRI, kita menjaga budaya bangsa. Busana adat, busur bambu, bahkan cara berdiri, semua mencerminkan tradisi,” ungkap Heru, sembari menunjuk peserta yang tengah bersiap di salah satu venue FORDA JATIM II, Minggu (1/12/2024).
Uniknya, dalam setiap kompetisi PERPATRI, busana adat menjadi syarat utama. Terlihat seluruh peserta perlombaan yang dinaungi oleh PERPATRI menggunakan kostum adat, bahkan busur panah yang mereka gunakan polos tanpa alat bantuan.
“Jika peserta tidak mengenakan pakaian tradisional, mereka langsung gugur. Ini komitmen kami untuk memastikan budaya tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi inti dari kegiatan ini," ungkapnya.
Adapun Khoiron Hadi, selaku Ketua PERPATRI Jawa Timur, menambahkan dimensi lain dari filosofi dari PERPATRI. Salah satu jenis busur yang ada dalam PERPATRI adalah Jemparing, sebuah panahan khas Jawa yang sudah ada sejak zaman Hamengkubuwono.
“Panahan tradisional kami ini berbeda sekali dengan modern. Bahkan ada kategori jemparing yaitu panahan sambil duduk yang sangat khas budaya Jawa. Melalui ini, kami mencoba merangkul kembali tradisi masyarakat yang hampir hilang,” katanya.
Di sisi lain lapangan, di lapangan C GBT, FESPATI memancarkan suasana yang berbeda. Motif Batik Megamendung pada papan target menjadi daya tarik utama. Wawan, Ketua Pelaksana Pertandingan FESPATI di ajang FORDA JATIM II, menjelaskan pendekatan mereka yang lebih fleksibel.
“Sebenarnya kita ini serupa, tetapi kalau PERPATRI itu lebih ke permainan tim, penilaiannya juga secara kumulatif, sedangkan kami lebih fokus pada permainan satu lawan satu, namun keduanya sama-sama memancarkan semangat kesenian tradisional,” katanya.
Meskipun FESPATI tak mewajibkan menggunakan busana adat, namun seni tetap menjadi inti dari FESPATI. Wawan menunjuk papan target yang berhias motif tradisional.
“Lihat target yang digunakan, untuk kategori dewasa, kami pakai Batik Megamendung. Selain sebagai target, ini juga mengajarkan nilai seni kepada peserta,” jelasnya.
“Kami punya panduan usia yang lebih jelas dan pakem, termasuk jarak tembak. Ini memberi struktur sekaligus ruang bagi peserta dari berbagai latar belakang,” tambah Wawan.
“Panahan tradisional ini bukan sekadar olahraga, tapi cara memahami jati diri kita,” ujar Heru menutup pembicaraan
Saat busur dilepaskan, anak panah melesat cepat menembus udara. Tidak peduli apakah mereka memanah dalam balutan busana adat khas PERPATRI atau di hadapan target Batik Megamendung milik FESPATI, semangat mereka sama, menjaga panahan tradisional tetap hidup. (*)
Editor: Rizqi Ardian
What's Your Reaction?