Politik Berintegritas, Pendanaan Parpol Kunci Mengatasi Korupsi?
Banyak teori telah dikemukakan mengenai motif di balik tindakan korupsi. Keserakahan, gaya hidup konsumtif, dan lemahnya moral sering kali disebut sebagai penyebab utamanya.
DALAM dua dekade terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap realitas mencengangkan, lebih dari 340 anggota DPR dan DPRD terseret kasus korupsi.
Tak hanya di legislatif, eksekutif pun tak lepas dari jeratan korupsi, dengan 24 gubernur dan lebih dari 160 wali kota serta bupati terlibat dalam praktik yang sama.
Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana aktor-aktor politik mendominasi daftar pelaku korupsi di Indonesia. Tapi, apa yang mendorong mereka terjerumus dalam perilaku tercela ini?
Banyak teori telah dikemukakan mengenai motif di balik tindakan korupsi. Keserakahan, gaya hidup konsumtif, dan lemahnya moral sering kali disebut sebagai penyebab utamanya.
Di sisi lain, faktor sosial, ekonomi, politik, dan lemahnya penegakan hukum memperparah situasi. Namun, kajian-kajian lebih mendalam mengungkap akar masalah yang lebih kompleks.
Salah satu penyebab signifikan, seperti yang dijelaskan Hopkin (Faisal dkk, 2018), adalah pola pendanaan partai politik.
Dilansir dari laman resmi Pusat Edukasi Antikorupsi, di Indonesia, kebutuhan politisi untuk mengumpulkan dana bagi kampanye dan kegiatan partai menjadi pemicu utama tindakan korupsi. Dalam konteks ini, penegakan hukum yang lemah justru memperlancar praktik tersebut.
Sumber Dana Partai Politik
Hampir semua partai politik di Indonesia saat ini bergantung pada dana yang berasal dari pengurus atau simpatisan.
Kajian Schroder (2000) menjelaskan beberapa sumber utama pendanaan partai politik, di antaranya:
- Iuran Anggota
Setiap anggota partai diwajibkan membayar iuran rutin yang besarnya disesuaikan dengan penghasilan mereka. Iuran ini diatur dalam anggaran dasar partai. - Penerimaan Anggota Baru
Beberapa partai politik menetapkan biaya saat menerima anggota baru, meski nilainya tidak signifikan, kontribusi ini tetap membantu kas partai. - Sumbangan
Undang-undang di Indonesia mengizinkan partai politik menerima sumbangan, baik dari perorangan maupun badan/organisasi, dengan batasan tertentu. Misalnya, sumbangan dari perorangan maksimal Rp1 miliar dan dari organisasi hingga Rp 7,5 miliar. - Sumbangan Barang
Selain uang, partai politik juga dapat menerima sumbangan berupa barang, seperti kendaraan, alat cetak, atau iklan di media massa. - Dana Pemerintah
Sumber terakhir berasal dari anggaran negara, baik melalui APBN maupun APBD, yang diberikan kepada partai-partai politik.
Pola Pendanaan yang Dapat Mencegah Korupsi
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik mewajibkan partai politik untuk melaporkan keuangan mereka secara transparan dan akuntabel.
Laporan keuangan tersebut harus mencakup realisasi anggaran, neraca, dan arus kas, serta diaudit secara terbuka. Namun, transparansi saja tidak cukup untuk membendung praktik korupsi.
Sistem pendanaan partai perlu dirancang sedemikian rupa agar mencegah politisi tergoda oleh uang haram.
Sebuah studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menawarkan beberapa model pendanaan yang dianggap ideal untuk mencegah korupsi:
- Subsidi 100 Persen dari Pemerintah
Dalam model ini, partai politik sepenuhnya dibiayai oleh negara, sehingga tidak diperbolehkan menerima sumbangan dari sumber lain. Partai harus menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) setiap tahun, yang kemudian disetujui dan diawasi oleh pemerintah.
Dengan pembiayaan penuh ini, politisi tidak perlu mencari uang di luar sistem untuk kampanye atau kegiatan partai, sehingga potensi "utang budi" terhadap penyumbang berkurang. - Peningkatan Bantuan dari Pemerintah
Pemerintah bisa meningkatkan jumlah dana yang diberikan kepada partai politik, dengan syarat partai tersebut menunjukkan transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, partai harus berbagi separuh kepemilikan dengan negara, memastikan bahwa dana publik digunakan untuk kepentingan partai dan masyarakat. - Model Pendanaan ala Turki
Di Turki, partai politik yang lolos ke parlemen mendapat subsidi 90 persen dari total pendapatannya. Bahkan partai yang gagal lolos, tapi meraih suara lebih dari 7 persen tetap mendapatkan bantuan, meski dalam jumlah yang lebih kecil. Selama tahun-tahun politik, subsidi ini bisa berlipat ganda untuk memenuhi kebutuhan kampanye.
Namun, apa pun model yang dipilih, kuncinya adalah pengawasan ketat dan transparansi. Tanpa adanya badan khusus yang mengawasi penggunaan dana partai, dan tanpa komitmen dari politisi serta partai politik untuk berintegritas, model apapun akan sia-sia.
Sistem pendanaan yang bersih harus diimbangi dengan politisi yang berkomitmen terhadap kepentingan publik, bukan sekadar mengincar keuntungan pribadi. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap melihat perubahan nyata dalam perpolitikan Indonesia. (**)
Sumber : Pusat Edukasi Antikorupsi
Editor : Rizqi Ardian
What's Your Reaction?