Batu Bara Jadi Solusi Krisis Minyak? Yuk Simak Inovasi Profesor ITS
Indonesia masih memiliki sumber daya selain minyak bumi, terutama batu bara itu sendiri yang memiliki potensi menjadi alternatif bahan bakar minyak melalui proses pencarian atau hidrogenasi.
Surabaya, SJP - Krisis bahan bakar minyak adalah salah satu masalah yang sedang dihadapi oleh dunia, yang mana cepat atau lambat perlu ada sumber daya alternatif yang bisa menggantikan peran dari minyak, namun apa yang bisa menjadi pengganti minyak?
Profesor ke-193 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Dr Dra Yulfi Zetra MSc ingin menjawab pertanyaan tersebut melalui inovasi yang ia bawa, yakni melalui proses hilirisasi batu bara padat menjadi cair dan sintesis bioaditif pada bahan bakar fosil bersulfur rendah.
“Salah satu alternatifnya adalah batubara yang dapat diolah hingga memiliki kemiripan sifat dengan minyak bumi,” ungkap Yulfi, Ahad (14/1/2024).
Jika lingkupnya diperkecil, Guru Besar Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS tersebut menyebut, persoalan minyak di Indonesia juga ada, dilihat dari tingkat impor bahan bakar minyak di Indonesia semakin meningkat.
Baginya, Indonesia masih memiliki sumber daya selain minyak bumi, terutama batu bara itu sendiri yang memiliki potensi menjadi alternatif bahan bakar minyak melalui proses pencarian atau hidrogenasi.
Proses tersebut akan memecah makromolekul batubara padat menjadi cair hingga memiliki rasio hidrogen per karbon yang mendekati minyak fosil, yakni rasio hidrogen per karbon berkisar 1,2 - 1,8 dari yang semula hanya sebesar 0,3 – 0,9.
Bagi yang penasaran dengan prosesnya, Yulfi juga beri penjelasan secara detail yang mana proses tersebut diawali dengan menghancurkan batu bara hingga menjadi partikel kecil berukuran 200 mesh atau setara 0,074 milimeter yang kemudian dicampur pelarut minyak berat, katalis limonit SH, serta katalis belerang dan gas hidrogen.
Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor untuk direaksikan pada suhu 450 derajat celsius dan tekanan sebesar 120 megapascal selama 60 menit, untuk menghasilkan produk batubara yang memiliki rasio hidrogen per karbon yang diharapkan.
Selanjutnya, produk tersebut melewati proses distilasi fraksinasi pada suhu didih mulai 30 - 538 derajat celsius untuk mendapatkan beberapa fraksi, yakni nafta, Light Oil (LO), Middle Oil (MO), dan Heavy Oil (HO).
Yulfi juga membeberkan bahwa produk fraksi tersebut sebetulnya sudah bisa digunakan sebagai bahan bakar diesel, namun kandungan belerangnya cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan hujan asam yang tidak ramah lingkungan jika dibakar pada bahan bersulfur tinggi.
“Sehingga diperlukan upaya desulfurisasi atau pengurangan kandungan sulfur untuk mengurangi tingkat kerusakan lingkungan,” tutur Yulfi mengingatkan.
Berkurangnya kandungan sulfur sendiri memiliki efek berkurangnya daya lumas pada mesin yang bisa menyebabkan terjadinya aus dan menurunnya performa mesin.
Mengatasi permasalahan itu, alumnus program doktoral Departemen Kimia ITS tersebut juga inovasikan untuk penambahan zat bioaditif berupa senyawa 2-hidroksietil risinoleat dari bahan hayati guna mempertahankan daya lumas bahan bakar agar ramah oada mesin.
Melalui serangkaian proses tersebut, terang Yulfi, akan dihasilkan suatu bahan bakar yang diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak yang terus menipis.
Yulfi berharap inovasi bahan bakar alternatif ramah lingkungan ini bisa terus dikembangkan. Hal tersebut juga didasari karena melihat potensi batu bara di Indonesia juga besar. (*)
Editor : Rizqi Ardian
What's Your Reaction?