Ribuan Anak Usia Pelajar di Mojokerto tidak Sekolah, Pengamat: "Akibat Kesalahan Pola Asuh"
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Nahdlatul Ulama (NU) Al-Hikmah Mojokerto itu berpandangan, anak harus merasa nyaman dengan keluarganya. Terutama dengan orang tua. Sebab, efek buruk akan terjadi bila anak tidak merasa nyaman dengan keluarga.
MOJOKERTO, SJP – Tingginya jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang disebabkan lingkungan yang buruk dan tindakan perundungan, patut menjadi pusat perhatian serius oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto.
Berdasarkan data pokok pendidikan (dapodik), tercatat ada 4.936 anak yang tidak sekolah di usia pelajar. Namun Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Mojokerto masih melakukan verifikasi dan validasi (verval) atas data tersebut.
Menanggapi fenomena itu, Pengamat Pendidikan, Mujib Utsmani mengatakan, tindakan perundungan kerap kali terjadi di lingkungan pelajar. Mulai dari jenjang sekolah dasar (SD), hingga sekolah menengah pertama (SMP).
Menurut Mujib, tindakan itu disebabkan oleh salahnya pola asuh atau peran orang tua yang kurang tepat dalam mendidik anak. Sebab, anak SD dan SMP masih dalam proses pencarian jati diri dan sedang gemar mencari perhatian lingkungan sekitar.
Ketika orang tua mengasuh dan mendidik anak dengan cara yang kasar, seperti berkata kasar dan kotor, maka anak akan menirunya dan melakukan hal yang sama saat mereka sedang emosi. Karena itulah pentingnya mengasuh dan mendidik anak dengan cara yang tepat.
“Saat ada masalah dengan temannya, kemungkinan dia akan melakukan tindakan kasar. Baik mengolok-olok, bahkan melakukan kekerasan fisik,” ucap Mujib kepada suarajatimpost.com, Selasa (26/11/2024).
Dia menegaskan, pola asuh orang tua sangat penting. Karena hal itu akan sangat memengaruhi karakter dan sifat anak. Pola asuh juga akan memengaruhi etika dan sopan santun anak. Pola asuh yang kurang tepat bisa berakibat fatal terhadap adab dan tingkah laku anak.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Nahdlatul Ulama (NU) Al-Hikmah Mojokerto itu berpandangan, anak harus merasa nyaman dengan keluarganya. Terutama dengan orang tua. Sebab, efek buruk akan terjadi bila anak tidak merasa nyaman dengan keluarga.
Saat anak tidak lagi mendapat kenyamanan di lingkungan rumah, maka tidak menutup kemungkinan anak akan mencari kenyamanan melalui lingkungan lain. Jika lingkungan sekitar kurang baik, maka akan membawa dampak negatif pada anak.
“Di sisi lain, faktor media sosial juga memengaruhi sikap dan sifat anak,” lanjutnya.
Menurut Mujib, Pemkab Mojokerto harus responsif terhadap fenomena ini. Disdik perlu melibatkan beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) dalam menyikapi tingginya angka ATS. Verval atas data ATS merupakan upaya deteksi dini untuk mengetahui faktor secara pasti.
“Karena ini harus bersama-sama. Tidak bisa hanya dibebankan kepada satu instansi saja,” ujarnya.
Lebih lanjut, Mujib menyarankan agar Pemkab Mojokerto melibatkan perguruan tinggi dalam mengatasi fenomena ini. Sebab diakui atau tidak, perguruan tinggi juga memiliki porsi tanggung jawab untuk menekan angka ATS.
Sebab dikatakannya lagi, anak tidak sekolah berikut ihwal pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak. Mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat itu sendiri. Akademisi juga perlu diberi ruang untuk ikut berpartisipasi memikul beban tanggung jawab tersebut.
“Harus kita kawal sama-sama. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Agar bisa maksimal menekan angka ATS,” tuturnya. (*)
Editor: Ali Wafa
What's Your Reaction?