Mewujudkan Ketahanan Pangan di Kota Surabaya Melalui Budikdamber: Panen Lele di Kampoeng Oase Songo
Panen lele di Kampoeng Oase Songo jadi bukti inovasi urban farming mampu wujudkan ketahanan pangan, menyediakan protein mandiri di tengah tantangan kota besar seperti Surabaya.
SURABAYA, SJP - Ketahanan pangan telah menjadi isu strategis yang terus mendapat perhatian di kota-kota besar seperti Surabaya, di mana lahan pertanian semakin terbatas akibat urbanisasi.
Sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia, Surabaya menghadapi tantangan besar untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya, terutama di kawasan padat penduduk.
Di tengah berbagai persoalan tersebut, muncul inovasi pertanian urban (Urban farming) yang melibatkan multisektor, termasuk akademisi.
Salah satu terobosan yang patut diapresiasi adalah program Budidaya Ikan dalam Ember (Budikdamber) di wilayah Surabaya Barat, tepatnya di Kampoeng Oase Songo.
Program ini merupakan bagian dari program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) yang dimulai sejak Juni 2024 yang didukung oleh Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek RI melalui Pendanaan Skema Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat tahun 2024.
Kini, program tersebut telah mencapai tahap panen perdananya, yang mana ikan yang dibudidayakan dalam inovasi tersebut adalah ikan lele. Hal itu menandai keberhasilan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan di tingkat masyarakat.
Ketua tim PKM UWKS, Freshinta Jellia Wibisono, bersama anggota timnya, Santirianingrum Soebandhi dan Masfufatun, menginisiasi program ini dengan harapan meningkatkan pendapatan ekonomi warga sekaligus menyediakan sumber protein yang mandiri.
“Alhamdulillah, saat ini kita panen ikan lele sebagai tanda closing kegiatan pengabdian masyarakat di Kampoeng Oase Songo. Walaupun sebelumnya pernah gagal panen, kami bangkit lagi dan akhirnya bisa panen bersama,” ujar Freshinta, Minggu (24/11/2024).
Panen ini tidak datang tanpa tantangan, Freshinta mengungkapkan bahwa kegagalan panen sebelumnya disebabkan oleh tingginya kadar amonia di air, yang diakibatkan sisa pakan berlebih.
Selain itu, faktor lingkungan seperti gangguan dari anak-anak yang memegang ikan serta perubahan cuaca ekstrem turut menyumbang tingkat stres ikan lele hingga memicu kematian massal.
“Faktor lingkungan sangat berpengaruh, terutama lokasi Budikdamber yang dekat jalan kampung. Anak-anak sering penasaran, memegang ikan, dan ini membuat stres ikan cukup tinggi. Ditambah cuaca panas yang ekstrem juga memicu kematian massal,” jelasnya.
Sebagai solusi, tim PKM melakukan pengurasan rutin pada ember dan mengganti air dengan sirkulasi yang lebih baik menggunakan selang. Langkah ini efektif mengurangi kadar amonia dan meningkatkan kadar oksigen dalam air.
Panen ikan lele menghasilkan 8 kilogram per panen, dengan rata-rata 10 ikan lele per kilogram. Hasil panen ini diutamakan untuk kebutuhan pangan warga Kampoeng Oase Songo.
Freshinta menekankan bahwa budidaya ini tidak bertujuan menyaingi pasar, melainkan memberikan akses protein yang bebas bahan kimia bagi masyarakat sekitar.
“Keunggulan utama adalah ketahanan pangan warga. Dengan budidaya ini, warga dapat mendapatkan protein secara mandiri tanpa menggunakan bahan pestisida berbahaya. Seperti jargonnya, ‘Tanam yang Kita Makan, Makan yang Kita Tanam'," ujarnya.
Ketua Kampoeng Oase Songo, Yaning Mustika Ningrum, mengungkapkan rasa syukurnya atas keberhasilan panen ini. Ia dan warga kampung mengaku sempat pesimis akibat kegagalan yang sempat terjadi sebelumnya.
“Alhamdulillah akhirnya kami bisa panen, kami pasti akan melanjutkan program ini, walaupun tanpa pendampingan dari pihak universitas. Yang terpenting adalah ketahanan pangan di sini bisa terlaksana dengan baik,” kata Yaning.
Hasil penjualan ikan lele nantinya akan digunakan untuk membeli bibit baru, sehingga program ini dapat berkelanjutan dan terus memberikan manfaat bagi ekonomi warga.
Sementara itu, Adi Candra, pembina Kampoeng Oase Songo, menambahkan bahwa inovasi dalam metode Budikdamber menjadi kunci keberhasilan. Dengan memasang keran di bagian bawah ember, pengurasan air menjadi lebih praktis dan efektif dalam mengurangi kadar amonia.
“Kami sangat mengapresiasi kekompakan warga dalam menerima masukan dan melakukan perbaikan. Ini menjadi contoh konkret bagaimana urban farming bisa mendorong sirkular ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Adi.
Program ini tidak hanya melibatkan dosen UWKS, tetapi juga mahasiswa seperti Miftahul Habibi, Azmi Khalid Amrulloh, dan lainnya, termasuk peserta Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) dari Universitas Trunojoyo, yang membantu branding dan pemasaran hasil panen.
Langkah kecil dari Kampoeng Oase Songo ini menjadi inspirasi besar bagi upaya ketahanan pangan di kota-kota besar lainnya. Program seperti ini membuktikan bahwa melalui kolaborasi pentahelix, antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media, tantangan urbanisasi dapat diubah menjadi peluang yang menjanjikan. (*)
Editor: Rizqi Ardian
What's Your Reaction?