Menyongsong Industri 5.0: Kesiapan SDM dan Integrasi Teknologi di Indonesia
Industri 5.0 hadirkan kolaborasi manusia dan mesin berbasis AI. Indonesia perlu persiapan SDM sejak dini agar tidak tertinggal, ungkap Prof. Mauridhi Hery Purnomo dari ITS.
SURABAYA, SJP - Dunia telah melalui berbagai revolusi industri, yang dimulai dari pengenalan mesin uap pada abad ke-18 hingga kini, di era industri 4.0, yang dikenal dengan teknologi digital dan otomatisasi. Setiap fase revolusi industri membawa dampak signifikan, mulai dari produksi massal hingga sistem otomatis berbasis internet.
Kini, dunia bersiap memasuki era berikutnya, yaitu Industri 5.0, yang menjanjikan integrasi lebih dalam antara manusia dan mesin berbasis kecerdasan buatan (AI) yang human-centered.
Menurut Prof. Mauridhi Hery Purnomo, Ketua Industrial Electronics Society (IES) Indonesia Chapter yang berafiliasi dengan Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) sekaligus peneliti di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Industri 5.0 akan melibatkan teknologi canggih seperti cyber-physical systems, di mana mesin tidak hanya otomatis tetapi juga mampu bekerja selaras dengan manusia.
“Di era ini, kita perlu mempersiapkan SDM agar bisa bekerja bersama teknologi, bukan sekadar digantikan oleh mesin,” jelas Hery saat dikonfirmasi pada Senin (25/11/2024).
Industri 5.0 menawarkan pendekatan yang lebih human-centered dibandingkan pendahulunya, dengan mengutamakan kolaborasi antara manusia dan mesin. Dengan teknologi ini, peran manusia bukan sekadar operator, tetapi sebagai mitra aktif yang bisa mengontrol dan bekerja beriringan dengan mesin cerdas. Hery menekankan bahwa tujuan dari Industri 5.0 adalah “memanusiakan manusia” dalam dunia kerja berbasis teknologi.
“Era ini bukan soal menggantikan tenaga manusia, tapi soal membangun kolaborasi agar teknologi bisa meringankan tugas manusia,” tambahnya.
Namun, menurut Hery, tantangan terbesar Indonesia dalam menyongsong Industri 5.0 adalah ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM), terutama dalam hal literasi digital yang masih belum merata.
Sebagai contoh, Pemerintah Kota Surabaya telah mencoba menerapkan sistem parkir berbasis kode QR, namun menghadapi kendala karena beberapa petugas parkir masih belum akrab dengan teknologi digital.
"Ini contohnya sederhana, tapi ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi di Indonesia memerlukan kesiapan dan edukasi lebih lanjut, bahkan untuk sistem yang kelihatannya sederhana," ujar Hery.
Ia juga menyoroti peran pendidikan tinggi dalam membekali generasi muda dengan keterampilan yang sesuai untuk Industri 5.0.
"Perguruan tinggi harus bisa menjadi pelopor, membangun kurikulum yang membekali mahasiswa dengan pengetahuan cyber-physical dan AI, supaya kita tidak tertinggal seperti saat teknologi AI mulai berkembang,” tutur Hery.
Menurutnya, langkah antisipatif dari sisi pendidikan akan menjadi kunci dalam kesiapan Indonesia untuk bersaing di era Industri 5.0.
Secara keseluruhan, Prof. Hery optimis bahwa Indonesia bisa menyongsong Industri 5.0 jika mampu meningkatkan kesiapan SDM dan melakukan adopsi teknologi yang lebih inklusif.
Dengan pendekatan yang tepat, kolaborasi antara manusia dan teknologi dapat menciptakan lingkungan kerja yang efisien dan tetap memprioritaskan aspek kemanusiaan. (*)
Editor : Rizqi Ardian
What's Your Reaction?