Polemik Dugaan Korupsi Politik di Kabupaten Malang, Akankah KPK Turun Tangan?

22 Jun 2024 - 09:00
Polemik Dugaan Korupsi Politik di Kabupaten Malang, Akankah KPK Turun Tangan?
Pemerhati Tata Kelola Pemerintahan Malang Raya, Erik Armando Talla. (Toski/SJP).

Kabupaten Malang, SJP - Polemik dugaan 'Korupsi Politik' yang menyeret mantan Ketua KPU Kabupaten Malang dan Anggota Legislatif (Aleg) dari PKB, dapil Jatim V / Malang Raya berinisial AA, semakin memanas.

Pasalnya, perkara yang telah dilaporkan ke Polda Jatim pada 27 Maret 2024 lalu, belum lama ini pihak tim kuasa hukum pelapor melayangkan surat permohonan perkembangan perkara atau Surat Pemberitahuan Hasil Penyelidikan (SP2HP), atas dugaan gratifikasi politik dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 lalu.

Karena, dinilai penanganan perkara dugaan gratifikasi politik yang menyeret mantan Ketua KPU Kabupaten Malang berinisial AS, dan Anggota Legislatif (Aleg) dari PKB, dapil Jatim V / Malang Raya berinisial AA, tidak berprogres.

Hal itu membuat pemerhati Tata Kelola Pemerintahan Malang Raya, Erik Armando Talla merasa prihatin, melihat dari proses penyelidikan laporan dugaan korupsi politik atau gratifikasi politik yang dinilai tidak berprogres.

"Jujur secara pribadi saya prihatin, karena perkara dugaan gratifikasi politik yang telah dilaporkan pada 27 Maret 2024 lalu, tapi hingga saat ini belum ada progres perkembangan penanganannya, apalagi perkara ini melibatkan mantan pejabat KPUD Kabupaten Malang dan Aleg DPR RI," ucapnya, saat dikonfirmasi SuaraJatimPost.com, Sabtu (22/6/2024).

Menurut Erik, sebenarnya kinerja Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Polda Jatim untuk mengungkap rangkaian peristiwa diatur oleh Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

"Saya memahami dalam perkara ini diperlukan kehati-hatian penyelidik untuk mengungkap rangkaian peristiwa ini, karena ketika perkara ini naik ke tahap penyidikan Polisi di batasi oleh pasal 31 Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009," jelasnya.

Akan tetapi, lanjut Erik, dalam perkara tersebut, pihak pelapor telah melengkapi alat bukti yang dinilai cukup untuk permulaan dalam melakukan penyelidikan perkara, bukti tersebut berupa tangkapan layar komunikasi terlapor di grup WA, HP, dokumen RAB, dan tangkapan layar foto-foto bukti dugaan gratifikasi.

"Dengan Alat bukti permulaan yang cukup, menurut saya Polda Jatim wajib segera menuntaskan proses penyelidikan ini dan membawa perkara ini ke tahap Penyidikan," terangnya.

"Hal itu supaya tercapainya kepastian hukum bagi terlapor dan tentu saja masyarakat luas yang di wakili oleh pihak pelapor, jangan mengorbankan nama dan citra baik Kepolisian dalam hal ini Polda Jatim," tambahnya.

Sebab, Erik menegaskan, dampak Korupsi Politik tersebut akan menyandera pemerintahan sehingga memberikan konsekuensi menguatnya plutokrasi atau sistem politik, yang membuat hancurnya kedaulatan rakyat, hingga hancurnya kepercayaan rakyat terhadap demokrasi.

"Dampak Korupsi Politik sangat fatal, bagaimana Negara ini akan maju jika pejabat politiknya didapat dari proses yang tidak benar," tegasnya.

Untuk itu, tambah Erik, dirinya menyarankan kepada tim kuasa hukum pelapor berinisial DM, untuk melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apalagi kurang puas atas perkembangan pelaporannya, hal itu sesuai dengan Pasal 8 UU nomor 30 tahun 2002, bahwa KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi lain yang menjalankan tugas dan wewenang, yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik.

"Apabila masyarakat dalam hal ini pelapor kurang puas atas perkembangan pelaporannya, mereka bisa lapor ke KPK, karena KPK dapat mengambil alih proses penyidikan yang telah di lakukan APH lain dalam hal ini perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi," pungkasnya. (*)

Editor: Rizqi ArdianĀ 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow