Patriarki dalam Lensa Film: Mengungkap Realita Korea Selatan dalam Film Pilot (2024)
Meskipun begitu, Hwang dan Lilies sepakat bahwa budaya dan pola pikir patriarki bukan hanya berdampak negatif bagi perempuan, tetapi juga laki-laki. Beban tanggung jawab yang harus dipikul laki-laki kerap menjadi tekanan psikologis yang tidak disadari banyak orang.
SURABAYA, SJP - Budaya patriarki, meski perlahan semakin terkikis di berbagai belahan dunia, masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial negara-negara tertentu, terutama di Korea Selatan.
Dibalik gemerlap industri hiburan dan perkembangan teknologi, Korea Selatan masih sarat akan stereotip gender. Hal ini tergambar dalam beragam medium, salah satunya dalam film Pilot (2024), sebuah film komedi ringan yang berhasil mengemas isu patriarki secara halus namun penuh makna.
Film itu menjadi sorotan utama dalam kegiatan nonton bareng dalam acara 'Korea CineCon 2024' yang digelar di CGV Cinema, Maspion Square Surabaya, sebuah acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mandala Surabaya (FIKOM UKWMS).
Tidak hanya nonton bareng, kegiatan tersebut juga diikuti dengan diskusi yang fokus membahas tentang isu patriarki dan feminisme bersama dengan ahli dari Korea Selatan, Hwang Who Young, dan Lilies Rolina Irnanto, yang merupakan Chief Editor di Womanblitz.
Hwang Who Young, yang juga merupakan KF Visiting Professor di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengungkapkan, dirinya yang merupakan orang Korea dangat terbiasa dengan budaya patriarki, dan dirinya mengungkapkan bahwa film "Pilot" berhasil menunjukkannya lewat rendahnya representasi perempuan di profesi tertentu.
“Pilot perempuan di Korea hanya sekitar 2-3 persen, angka yang sangat kecil. Ini mencerminkan stereotip sosial bahwa pekerjaan seperti ini lebih cocok untuk laki-laki,” ungkap Hwang, Senin (9/12/2024).
Ia juga menyoroti bagaimana stereotip ini menciptakan perbedaan dominasi gender di berbagai bidang kerja. Salah satunya karir sebagai pilot yang dianggap berat dan membutuhkan kemampuan teknis yang lebih tinggi.
“Sementara perempuan lebih sering berada di sektor jasa,” tambahnya.
Sementara itu, Lilies Rolina Irnanto, pembicara kedua dalam sesi diskusi itu, menyebut film ini berhasil menangkap realita patriarki di Korea Selatan dalam banyak adegan.
"Laki-laki sering digambarkan harus bertanggung jawab penuh terhadap keluarga, sedangkan perempuan cenderung tinggal di rumah mengurus anak," katanya.
Bahkan dalam film ini, karakter perempuan ditampilkan sebagai pendukung laki-laki, baik sebagai istri, ibu, maupun adik.
Namun, Lilies juga menekankan sisi positif perubahan di Korea, terutama bagaimana perempuan mulai mendapatkan kesempatan lebih luas. Hal ini juga tergambar dalam plot film yang menunjukkan karakter utama kembali mendapatkan pekerjaan dan perhatian saat berpura-pura menjadi perempuan.
"Sebenarnya, harus diakui bahwa saat ini, posisi perempuan tidak seperti dulu. Banyak peluang terbuka untuk perempuan di berbagai bidang, walaupun masih banyak hal dan hak lain yang masih perlu diperjuangkan dan dijaga," ujarnya.
Sebagai pembanding, Lilies mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, mulai bertransformasi. Meski generasi-generasi tua masih banyak yang acuh akan isu ini, namun perkembangan tersebut menunjukkan sebuah tren yang positif.
"Anak-anak sekarang sudah memahami bahwa perempuan bisa berkarir setinggi mungkin, hal ini terlihat dari jumlah lulusan perempuan di Universitas yang terus meningkatkan," katanya.
Meskipun begitu, Hwang dan Lilies sepakat bahwa budaya dan pola pikir patriarki bukan hanya berdampak negatif bagi perempuan, tetapi juga laki-laki. Beban tanggung jawab yang harus dipikul laki-laki kerap menjadi tekanan psikologis yang tidak disadari banyak orang.
Di sisi lain, Rys Dedy Ariprastowo, dosen Ilmu Komunikasi UKWMS, menambahkan bahwa acara yang menjadi bagian dari praktikum mata kuliah Manajemen Event ini sukses membuka ruang dialog tentang budaya patriarki dan transformasi gender. Ia pun menegeskan betapa pentingnya melihat film sebagai refleksi sosial.
"Selain soal feminisme dan patriarki, film ini juga mengangkat isu memori kolektif dan kapitalisme yang memengaruhi dinamika dalam masyarakat," ujarnya.
Korea CineCon 2024 menjadi bukti bahwa film tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga alat edukasi yang mampu menjembatani perbedaan budaya. Lewat diskusi seperti ini, baik budaya patriarki di Korea maupun perubahan di Indonesia dapat dilihat secara lebih kritis dan konstruktif. (*)
Editor : Rizqi Ardian
What's Your Reaction?