Mengenal Manfaat, Makna dan Filosofi Tradisi Ngrowot Masyarakat Jawa
Tradisi ngrowot juga lazim dilakukan di lingkungan pesantren, sebagai buah dari akulturasi kebudayaan yang diupayakan oleh Walisongo pada masa syiar Islam di zaman dahulu.
Kota Malang, SJP - Tradisi Ngrowot adalah sebuah tradisi makan yang dikenal oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini mengacu pada kebiasaan baik nenek moyang yang mengurangi kesenangan dan kenikmatan duniawi dengan cara berpuasa ngrowot.
Ngrowot tidak berarti berpuasa dengan tidak makan sama sekali. Dalam puasa ngrowot, masyarakat Jawa hanya mengonsumsi jenis makanan pala kependhem, yang disebut krowotan, seperti ubi, ketela, talas, gadung dan sebagainya, juga sayur mayur.
Jauh sebelum tren vegan marak ke dalam wacana gaya hidup postmodern, tradisi ngrowot ini sudah dilakukan oleh nenek moyang orang Jawa sebagai laku prihatin, tirakat dan sebagai upaya menjaga keseimbangan alam.
Dilansir dari laman journal.uinsi.ac.id, tradisi ngrowot juga lazim dilakukan di lingkungan pesantren, sebagai buah dari akulturasi kebudayaan yang diupayakan oleh Walisongo pada masa syiar Islam di zaman dahulu.
Manfaat Tradisi Ngrowot
Secara manfaat, masyarakat Jawa percaya ngrowot memiliki manfaat mendetoksifikasi diri baik secara ragawi maupun spiritual, dari pengaruh-pengaruh negatif yang bisa datang melalui makanan yang dikonsumsi.
Tak hanya itu, secara medis tradisi ini juga telah dikaji secara klinis, dan ditemukan fakta bahwa ngrowot memang memiliki manfaat kesehatan yang baik, utamanya bagi mereka yang menderita penyakit diabetes.
Dilansir dari laman Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, ngrowot bukan satu-satunya jenis puasa atau model pengaturan makan yang dikenal oleh masyarakat Jawa. Selain Ngrowot, masyarakat Jawa juga mengenal mutih dan ngalong.
Mutih artinya hanya mengonsumsi makanan berwarna putih, seperti nasi putih tanpa garam dan tambahan apapun. Sedangkan ngalong, berarti bersikap seperti kalong (kelelawar) yang hanya mengonsumsi buah-buahan yang tumbuh menggantung.
Menurut Woro Harry Soeherman, Top Therapist Martha Tilaar Center, terlepas dari tradisi Jawa, puasa-puasa dalam tradisi Jawa juga berfungsi sebagai detoksifikasi. Secara logika, ritual diet tradisional ini bisa disejajarkan dengan food combining yang memiliki pengaruh baik bagi kesehatan.
Tak hanya berpengaruh pada kesehatan ragawi, ngrowot dan berbagai jenis puasa dalam tradisi Jawa secara tak langsung juga membawa efek terhadap emosi manusia. Hal ini dilandasi fakta ilmiah tentang emosi manusia.
Emosi manusia terjadi akibat faktor hormonal. Dilansir dari laman Forbes, terdapat hormon-hormon dalam tubuh manusia yang berperan dalam memunculkan emosi serta respon tertentu. Misalnya hormon dopamine yang berperan dalam memunculkan rasa tenang, Endorphine yang meminculkan rasa bahagia, Oxytocin yang berperan dalam memunculkan perasaan cinta, hingga kortisol yang mempengaruhi kondisi stress dan agresifitas dalam diri seseorang.
Aktivasi terhadap hormon-hormon ini, selain dipengaruhi pola interaksi antar manusia dan paparan obat, juga dapat dipengaruhi dari pola konsumsi manusia. Seperti misalnya pengaruh makanan afrodisiak seperti cokelat dan anggur yang dapat memacu produksi hormon Dopamine, Endorphine dan Oxytocin, juga konsumsi berlebih daging yang dapat memicu produksi hormon kortisol. Hal ini menjadi bukti bahwa apapun yang dikonsumsi oleh manusia akan berpengaruh pada kondisi hormon tersebut.
Itu sebabnya, puasa ngrowot dan berbagai jenis puasa lain dalam tradisi Jawa memiliki banyak manfaat baik secara spiritual, emosional maupun medis. Melakukannya secara berkala dapat menjaga keseimbangan diri dan alam, agar tubuh dan jiwa senantiasa sehat, sekaligus menjaga kelestarian budaya luhur Nusantara. (**)
Pewarta: Ratna Satyavati
Editor: Ardians Pratama
Sumber: Perpustakaan Digital Budaya, Indonesia, journal.uinsi.ac.id, Forbes.com
What's Your Reaction?