Surabaya, SJP - Dosen program studi S2 Hukum dan Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Hananto Widodo, menegaskan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak berwenang menafsirkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait perubahan format debat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) Pemilu 2024.
"KPU wajib melaksanakan sesuai dengan UU," kata Hananto dalam keterangan tertulisnya kepada suarajatimpost, Senin (4/12/2023).
Menurut Hananto, penjelasan Pasal 277 Ayat (1) UU Pemilu, tegas nyatakan bahwa KPU wajib laksanakan debat sesuai dengan UU. Oleh karena itu, KPU tidak memiliki ruang diskresi untuk menafsirkan UU terkait perubahan format debat capres-cawapres 2024.
"Bawaslu harus bertindak. Dia harus memberikan rekomendasi pada KPU untuk melaksanakan debat sesuai dengan UU berlaku dimaksud di atas," tegas Hananto.
Hananto juga menyoroti transparansi KPU dalam pelaksanaan debat capres-cawapres.
Menurutnya, KPU harus menjelaskan secara transparan alasan perubahan format debat capres-cawapres 2024.
"Termasuk siapa moderatornya nanti, KPU juga harus transparan, untuk ketahui berlangsungnya acara debat capres dan cawapres seperti pada tahun sebelumnya juga sudah beberapa kali dilakukan. Masyarakat bisa menyaksikan di saluran televisi yang ditunjuk sebagai penyalur keterbukaan informasi publik pelaksanaan pemilu, jujur, adil dan bebas rahasia," tuturnya.
Sementara itu, Jaringan Edukasi Pemilu untuk Rakyat (JEPR) dan DPD Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jawa Timur, mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengeluarkan surat rekomendasi kepada KPU untuk mengembalikan format debat capres-cawapres Pemilu 2024 menjadi lima kali, dengan rincian tiga kali untuk capres dan dua kali untuk cawapres.
Ketua JEPR, Rico Nurfiansyah Ali, mengatakan, perubahan format debat capres-cawapres yang dilakukan KPU dinilai tidak sesuai dengan UU Pemilu dan PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.
"Dalam UU Pemilu dan PKPU, debat capres-cawapres dilaksanakan lima kali, dengan rincian tiga kali untuk capres dan dua kali untuk cawapres. Namun, KPU justru mengubah format tersebut menjadi empat kali, dengan rincian dua kali untuk capres dan dua kali untuk cawapres," kata Rico.
Rico menilai bahwa perubahan format debat capres-cawapres tersebut berpotensi merugikan pemilih, khususnya generasi muda. Menurutnya, debat capres-cawapres merupakan kesempatan bagi pemilih untuk melihat kapasitas, kompetensi, ide, dan gagasan para calon presiden dan calon wakil presiden.
"Debat capres-cawapres sangat penting bagi generasi muda untuk menentukan pilihannya. Namun, dengan adanya perubahan format tersebut, kesempatan pemilih untuk melihat kapasitas dan kompetensi para calon menjadi terbatas," ujarnya.
Ketua Umum DPD GMNI Jatim, Hendra Prayogi, SH, juga menyayangkan perubahan format debat capres-cawapres yang dilakukan KPU.
"Kami mendesak KPU untuk lebih fair dan patuh terhadap aturan yang sudah ditetapkan. KPU harus mengembalikan format debat capres-cawapres sesuai dengan UU Pemilu dan PKPU," tegasnya.
Perubahan format debat capres-cawapres
Pada tanggal 29 November 2023, KPU menetapkan perubahan format debat capres-cawapres Pemilu 2024 menjadi empat kali, dengan rincian dua kali untuk capres dan dua kali untuk cawapres.
Perubahan format ini dilakukan dengan alasan untuk meningkatkan kualitas debat dan menghindari kejenuhan masyarakat.
Namun, perubahan format ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan mahasiswa. Mereka menilai bahwa perubahan format tersebut tidak sesuai dengan UU Pemilu dan PKPU. (*)
Editor : Rizqi Ardian