Adaptasi Seni di Usia Senja: Pameran "Menggores Mimpi" oleh Wahyu Subakdiono
Pameran tunggal "Menggores Mimpi" oleh Wahyu Subakdiono menjadi bukti bahwa seni adalah ekspresi yang terus berkembang dan tidak terbatas oleh usia atau kondisi fisik.
Surabaya, SJP - Dalam dunia seni, slogan Kreatifitas tanpa batas bukan hanya sekedar kalimat belaka, melainkan sebuah pola pikir yang harus diambil oleh para seniman untuk tetap bisa relevan dan ekspresif melalui evolusi dan adaptasi dengan kondisi yang ada.
Hal tersebut tergambar dalam pameran lukisan abstrak bertajuk "Menggores Mimpi" yang digelar di Galeri Merah Putih, komplek Alun-alun Balai Pemuda, Surabaya sejak Sabtu (25/5) lalu.
Wahyu Subakdiono, perupa berusia 69 tahun asal Bojonegoro yang mengadakan pameran tunggal tersebut menjelaskan bahwa karya yang ia pamerkan kali ini merupakan jawaban dari kebuntuan yang ia hadapi di usianya yang sudah lanjut.
Wahyu memulai perjalanan seninya di aliran realisme, dimana karya yang ia ciptakan menggambarkan keindahan alam, potret manusia, dan kehidupan sehari-hari dengan detail sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya (realita).
Namun, seiring berjalannya waktu, Budi mulai menghadapi tantangan kesehatan yang mempengaruhinya keterampilan motorik halusnya, yakni tremor (getaran tidak terkendali pada tangan) yang menghalangi dirinya untuk melukis dengan presisi seperti dahulu.
"Setiap manusia itu dibatasi oleh usia, tidak dipungkiri kalau goresan kita yang seharusnya lurus atau berbelok menjadi sulit karena tangan kita tremor dan ndredek," beber Wahyu, Senin (27/5).
"Sedangkan karya itu tidak memiliki batas, maka saya beradaptasi dan menyesuaikannya dengan umur dan kemampuan saya untuk bisa terus berkarya melalui karya abstrak," imbuhnya.
Wahyu mengungkapkan bahwa rekanan seniman lainnya juga ikut mendorong dirinya untuk mengeksplorasi seni abstrak, yang mana gaya atau aliran seni ini memberikan kebebasan yang lebih besar dan memungkinkan ekspresi yang lebih intuitif, cocok dengan kondisi fisiknya saat ini.
Pameran tunggal kedua oleh Wahyu ini berisikan setidaknya 18 lukisan abstrak, yang mana ia sebut tidak mengangkat tema spesifik, namun lebih mengarah ke sebuah luapan hati yang ia gambarkan dengan tumpahan warna.
"Bisa dibilang ini ungkapan penuh kebebasan, namun tidak lepas dari nuansa religius, lingkungan dan kondisi alam tertentu," ujarnya.
Salah satu karya Wahyu yang menggambarkan tema dari pameran ini ialah lukisan abstrak berjudul "Demi Waktu" yang memiliki makna serupa dengan filosofi 'Urip iku Urup' yang artinya 'Hidup itu Nyala'.
"Manusia tidak tau kapan akan dipanggil oleh yang di atas (Allah, red), maka dari itu di waktu muda maupun tua manusia harus bisa memberikan manfaat melalui apa yang mereka bisa," terang Wahyu.
Sementara, tajuk "Menggores Mimpi" diambil tidak hanya untuk menunjukkan mimpinya untuk terus berkarya, namun juga mengekspresikan bahwa melakukan pameran di Kota Surabaya merupakan mimpi banyak seniman Daerah, tidak terkecuali seniman asal Bojonegoro.
"Ini mimpi banyak seniman daerah, bisa mendapatkan apresiasi dari masyarakat dalam lingkup yang lebih luas dan menjadi sebuah jembatan agar karya kami dilirik pelaku usaha dan kolektor," terangnya.
Setelah berhasil menggelar pameran tunggal yang dikuratori oleh seniman senior Agus Koecink di Surabaya, Wahyu berharap pamerannya kali ini bisa memantik seniman lain dari daerahnya untuk berani ikut berpameran atau bahkan menggelar pameran tunggal di Kota Pahlawan.
"Pertama saya ucapkan terimakasih karena seniman dan masyarakat Surabaya sangat welcome (menerima) kami," ucap Wahyu.
"Dan saat ini saya juga seniman asal Bojonegoro lain sudah membangun komunikasi dengan seniman Surabaya, semoga ini bisa menjadi tali penghubung yang baik," pungkasnya. (*)
Editor: Rizqi ArdianĀ
What's Your Reaction?