Temu Hati: Desain Busana Berkonsep Sensory Friendly untuk Penderita ADHD oleh Glady C. Anggomez
Karya Gladys Anggomez dari koleksi 'Temu Hati' terinspirasi oleh perjalanan penderita ADHD dalam menemukan jati diri.
Surabaya, SJP - Gangguan seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) seringkali masih dipandang sebelah mata di Indonesia, padahal dampaknya bisa sangat besar pada kualitas hidup individu.
Di tengah upaya meningkatkan kesadaran serta perhatian terhadap kesehatan mental di tengah masyarakat, fashion kini juga ikut bertransformasi menjadi salah satu medium untuk mendukung inklusivitas.
Menghadapi tantangan yang dihadapi penderita ADHD dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal sensitivitas sensorik, seorang desainer muda asal Surabaya berusaha menciptakan solusi melalui pendekatan kreatifnya yang memadukan fashion dengan elemen yang lebih inklusif dan ramah indera.
Gladys Christabel Anggomez, mahasiswi semester akhir program Textile and Fashion Design (DFT) Universitas Kristen Petra (UK Petra) Surabaya, mempersembahkan koleksi busana yang tidak hanya indah secara estetis, tetapi juga berfungsi sebagai dukungan bagi mereka yang mengalami gangguan mental seperti ADHD.
"Karya saya berjudul 'Temu Hati' ini terinspirasi dari perjalanan perempuan-perempuan Indonesia yang didiagnosis ADHD, yang bagi saya adalah refleksi dari pencarian jati diri,” ungkap Gladys, Minggu (25/8).
Koleksi Gladys ini sempat dipamerkan dalam ajang PCU Innofashion Show bertajuk 'Evolve', yang digelar pada 15 Agustus lalu di Kampus UK Petra Surabaya (Petra Christian University/PCU).
Menurut Gladys, diagnosa ADHD menjadi titik awal yang membuka jalan bagi para perempuan tersebut untuk menerima diri sendiri.
“Bagi mereka, diagnosa ini menjadi kunci menuju self-acceptance dan kedamaian yang sesungguhnya,” jelasnya lebih lanjut.
Gladys ingin menggunakan karyanya sebagai media untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.
“Saya ingin menunjukkan bahwa diagnosis yang tepat dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. Setiap orang layak merasa nyaman dengan dirinya, dan saya ingin karya saya membantu mereka mencapai itu,” kata Gladys.
Salah satu pendekatan inovatif yang digunakannya adalah konsep "sensory friendly", yang dirancang khusus untuk mengurangi ketidaknyamanan sensorik pada penderita ADHD.
“Saya menemukan bahwa bahan yang lembut dan dingin bisa membuat mereka merasa lebih tenang, saya juga meminimalkan jahitan yang mengganggu dan menambahkan kantong besar agar mereka bisa menyembunyikan atau mengendalikan reaksi fisik seperti menggenggam ketika gugup,” tambahnya.
Dalam proses risetnya, Gladys mewawancarai lima perempuan yang mengalami ADHD dan menemukan bahwa empat dari lima responden memiliki sensitivitas tinggi terhadap pakaian.
“Sensitivitas terhadap tekstur kain dan jahitan adalah hal yang sangat nyata bagi mereka, saya ingin menciptakan pakaian yang bisa membuat mereka merasa lebih nyaman dan fokus dalam aktivitas sehari-hari tanpa perlu khawatir tentang ketidaknyamanan yang sering mereka alami,” ungkapnya.
“Warna biru adalah warna yang paling disukai di Indonesia, menurut survei YouGov pada 2015, selain itu biru sering diasosiasikan dengan ketenangan, seperti air laut dan langit,” imbuh Gladys.
Kain satin dipilih untuk memberikan kenyamanan ekstra bagi pemakai, sementara desain yang sederhana namun elegan memastikan bahwa busana ini siap dipakai untuk aktivitas sehari-hari maupun bekerja.
Gladys juga mencatat bahwa riset di Amerika menunjukkan pakaian yang dirancang khusus untuk mengurangi ketidaknyamanan sensorik, dapat membantu mencegah overload mental atau mental meltdown pada penderita ADHD.
“Saya berharap dengan desain busana ini, orang-orang dengan sensitivitas tinggi terhadap pakaian bisa tetap merasa nyaman dan percaya diri tanpa harus mengorbankan gaya,” jelasnya.
Koleksi Gladys terdiri dari beberapa desain seperti vest dan outer, yang dirancang dengan konsep ready to wear agar bisa digunakan sehari-hari, di balik setiap desain terdapat cerita tentang perjalanan seorang wanita dalam menemukan bagian yang hilang dari dirinya.
“Koleksi saya ini menggambarkan perjalanan melalui empat tahapan: hilang, mencari, temu, dan hati. Semua ini digabungkan menjadi satu konsep besar yang menceritakan proses pencarian jati diri,” tutur Gladys.
Melalui brand yang sedang dikembangkannya, POETIC CLOUDS, Gladys berharap dapat terus menciptakan pakaian yang inklusif dan ramah bagi semua orang, terutama mereka yang memiliki kebutuhan sensorik khusus.
“Saya berharap koleksi ini dapat membawa kesadaran lebih luas tentang pentingnya kesehatan mental di Indonesia. Saya percaya fashion bisa menjadi medium yang kuat untuk menyampaikan pesan bahwa setiap orang berhak merasa nyaman dengan dirinya,” pungkas Gladys, sambil mengajak masyarakat untuk mengikuti perkembangan koleksinya melalui Instagram @poeticlouds_. (*)
Editor: Rizqi Ardian
What's Your Reaction?