Pemilu sebagai Medium Integrasi Bangsa; Studi Komparasi Pemilu 1955 dan Pemilu 2024

Jika pada Pemilu 1955 polarisasi yang muncul adalah imbas dari penerjemahan rumusan kebangsaan di atas banyaknya ideologi yang berkontestasi dan berkonsolidasi dalam pemilu, pada Pemilu 2024 berbeda. Justru polarisasi yang muncul pada Pemilu 2024 lebih kepada maraknya politik identitas, hoaks dan ujaran kebencian.

17 Mar 2024 - 10:15
Pemilu sebagai Medium Integrasi Bangsa; Studi Komparasi Pemilu 1955 dan Pemilu 2024
Muchammad Fahri - Penulis merupakan Ad Hoc Penyelenggara Pemilu 2024 sekaligus alumnus Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang

Proses demokrasi perwakilan di Indonesia telah terlaksana ditandai dengan penggunaan hak pilih rakyat Indonesia di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada 14 Februari 2024. Namun, dinamika pasca gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih belum usai. Setidaknya sampai adanya putusan hasil rekapitulasi nasional dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) yang akan disampaikan pada 20 Maret 2024.
 
Pemilu menjadi salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2). Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945).
 
Secara hierarki legal formal sudah jelas diatur bagaimana idealnya Pemilu dilaksanakan mulai dari UUD 1945, UU Pemilu, UU Penyelenggaraan Pemilu hingga berbagai peraturan yang lebih teknis di bawahnya. Ini sebagai bentuk kepastian hukum sekaligus legitimasi dari bagaimana seharusnya kedaulatan rakyat benar-benar dilaksanakan.
 
Secara historis, proses pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui Pemilu tentunya bukan barang baru. Pemilu pertama di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1955 dan secara berkelanjutan juga dilaksanakan dalam Pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019 dan terbaru 2024.
 
Dalam segi kuantitas pelaksanaan mungkin ini bisa dikatakan sebagai salah satu indikator keberhasilan proses demokrasi di Indonesia. Namun pertanyaan yang menarik adalah apakah gelaran Pemilu ini bisa menjadi momen konsolidasi rakyat untuk mencipta sebuah medium integrasi bangsa? Atau justru momen Pemilu hanya menjadi ajang untuk memupuk polarisasi dan disintegrasi bangsa?
 
Komparasi Historis Pemilu 1955 dan Pemilu 2024
 
Sudah menjadi klaim umum bahwa Pemilu 1955 adalah Pemilu paling demokratis di Indonesia. Sebagai Pemilu pertama yang dilaksanakan pasca kemerdekaan, ada beberapa fakta menarik tentang Pemilu 1955.
 
Pemilu 1955 dilaksanakan pada 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.
 
Pemilu 1955 bisa dibilang sebagai ajang konstelasi, konsolidasi hingga integrasi ideologi dalam waktu yang bersamaan yang dikemudian hari turut membentuk identitas politik republik Indonesia.

Sebagai bangsa yang baru merdeka, momen Pemilu 1955 juga menandai lahirnya berbagai partai politik sebagai pilar utama demokrasi. Mengingat pemilu 1955 diikuti oleh multi partai dengan patern ideologi yang berbeda-beda.

Sebagai informasi, Pemilu 1955 diikuti oleh 36 partai politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perseorangan untuk DPR, serta 39 partai politik, 23 organisasi massa, dan 29 calon perseorangan untuk Konstituante.
 
Partisipasi masyarakat dalam Pemilu 1955 juga terbilang sangat tinggi (tertinggi dalam sejarah Pemilu di Indonesia) yakni 91,5% dari total 92 juta pemilih yang terdaftar.
 
Hasilnya, 4 besar partai pemenang Pemilu 1955 diisi oleh partai dengan ideologi yang berbeda-beda. Partai Nasional Indonesia (PNI) di urutan pertama, Masyumi di posisi kedua, diikuti oleh Nahdlatul Ulama (NU) di urutan ketiga dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di posisi ke empat.
 
Lebih lanjut, dalam gelaran Pemilu 1955 ini juga menandai partisipasi langsung perempuan (48 juta perempuan menggunakan hak pilih mereka untuk pertama kalinya dalam Pemilu).
 
Pemilu 1955 kemudian banyak dijadikan “role model” pelaksanaan pemilu berikutnya di Indonesia. Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada dalam pelaksanaannya, beberapa fakta politik di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi bangsa yang baru merdeka,

Pemilu 1955 layak untuk dianggap sebagai medium yang bisa mengintegrasikan rakyat dalam frame kebangsaan (nasionalisme) di awal kemerdekaan. Hal ini juga diperkuat dengan banyaknya ideologi yang bertarung pada Pemilu 1955 (dengan latar ideologi yang sangat kontras).
 
69 tahun pasca pemilu pertama digelar, Indonesia kembali menggelar pemilihan umum pada tahun 2024. Meskipun belum bisa dikomparasi secara “apple to apple” karena proses masih berlangsung, akan tetapi ada beberapa hal yang dapat dianalisis dari gelaran Pemilu tahun 2024 ini.
 
Pemilu tahun 2024 digelar serentak di seluruh Indonesia. Tidak berhenti sampai di situ, pelaksanaan Pemilu juga digelar hingga luar negeri untuk memfasilitasi para WNI yang sedang berada di luar negara Indonesia.
 
Pemilu 2024 dilaksanakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan diikuti oleh 18 Partai Politik Nasional dan 3 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
 
Sebagai Pemilu yang dilaksanakan pasca reformasi (selepas pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, 2019), tantangan dan gejala yang muncul tentunya berbeda dengan gelaran Pemilu yang dilaksanakan pasca kemerdekaan-pra reformasi (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997).
 
Demokrasi tentu sudah berkembang (pada konteks Pemilu 2024), apalagi dengan berkembang pesatnya tekhnologi informasi yang turut menyertai perjalanan demokrasi.
 
Jika pada Pemilu 1955 polarisasi yang muncul adalah imbas dari penerjemahan rumusan kebangsaan di atas banyaknya ideologi yang berkontestasi dan berkonsolidasi dalam pemilu, pada Pemilu 2024 berbeda. Justru polarisasi yang muncul pada Pemilu 2024 lebih kepada maraknya politik identitas, hoaks dan ujaran kebencian.
 
Pemilu: Medium Integrasi Bangsa
 
Baik Pemilu 1955 maupun Pemilu 2024 pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri menjadi tonggak bersejarah dan momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Pemilu menjadi momen partisipasi rakyat dalam ruang pelaksanaan kedaulatan rakyat. Maka sudah seharusnya pemilu dapat menjadi ruang konsolidasi rakyat hingga integrasi bangsa sesuai dengan amanat sila ketiga Pancasila (Persatuan Indonesia).
 
Polarisasi sebagai imbas dari dinamika dan konstelasi politik adalah hal yang lumrah. Akan tetapi yang menjadi penting adalah memaknai arti persatuan pasca gelaran politik. Konsensus tentang norma dan nilai di masyarakat dalam konteks bernegara sangat penting untuk menerjemahkan tujuan dari demokrasi, agar tidak ada pemaknaan yang “keblinger” tentang demokrasi. Demokrasi bukanlah tujuan, melainkan adalah “alat” untuk mencapai tujuan nasional.
 
Mengutip Talcott Parsons dalam Teori Fungsionalisme Strukturalnya, bahwa integrasi dapat dicapai saat semua elemen dalam masyarakat saling terkait dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks demokrasi, momen pemilu harusnya bisa menjadi medium untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama tersebut.
 
Namun pertanyaan berikutnya muncul, bagaimana merumuskan tujuan bersama (tujuan kebangsaan) sedang kondisi demografi yang mengonstruk realitas kebangsaan Indonesia sangat beragam (berbeda suku, bangsa, agama, bahasa, etnis, dll).
 
Saya rasa perspektif dari Benedict Anderson bisa dijadikan rujukan dalam menerjemahkan realitas kebangsaan kita. Bahwa menurut Ben, konsep kebangsaan (nasionalisme) terbentuk sebagai fenomena “imagined communities” atau komunitas yang terbayang.

Konsep bangsa berbeda dengan komunitas lokal (desa) dimana anggotanya bisa saling mengenal.  Dalam sebuah bangsa, para anggotanya tidak mungkin mengenal semua anggota lainnya secara langsung.

Anggota bangsa memiliki perasaan "horisontal kameradarie" (persaudaraan horizontal). Artinya, mereka merasa setara dan memiliki ikatan meskipun berbeda latar belakang (suku, bangsa, agama, bahasa, etnis, dll).

Sebagai komunitas yang terbayang, “anggota bangsa” diyakini memiliki sejarah bersama yang diwariskan dari generasi ke generasi. (Sejarah ini bisa jadi fiktif atau dibesar-besarkan), namun fungsinya adalah untuk menciptakan perasaan solidaritas dan identitas kolektif.

Konsep tersebut agaknya cocok digunakan sebagai pisau analisa dalam memahami kondisi Bangsa Indonesia sebagai sebuah komunitas yang terbayang. Bahwa di atas segala perbedaan yang ada, persaudaraan horizontal dan identitas kolektif masih bisa terbentuk sebagai akumulasi dari sejarah bersama yang diwariskan dari generasi ke generasi.
 
Lebih lanjut, imagined communities bisa diterjemahkan dalam hal “proyek bersama” yang dapat menyatukan segala yang beda tersebut dalam frame kebangsaan yang sama. 

Dalam hal ini, harusnya momen Pemilu dapat menjadi medium “proyek bersama” untuk mengonsolidasikan berbagai perbedaan yang ada hingga terciptanya solidaritas horizontal dan integrasi kolektif bangsa Indonesia.

Karena Pemilu adalah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), dengan tujuan untuk mencapai visi misi nasional yang termaktub pada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. 

Penulis: Muchammad Fahri - Ad Hoc Penyelenggara Pemilu / Alumni Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang

Disclaimer : Segala isi di rubrik OPINI, baik berupa teks, foto, maupun gambar merupakan pendapat pribadi penulis dan segala konsekuensi bukan menjadi tanggung jawab redaksi.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow