Pameran Mimesis Agus Koecink, Kehampaan Masa Covid yang Menjadi Sebuah Karya

Ratusan karya dalam Pameran Mimesis merupakan hasil tangkapan Agus Koecink terhadap esensi dari isolasi dan keheningan yang ia rasakan selama masa pandemi Covid-19.

22 May 2024 - 18:30
Pameran Mimesis Agus Koecink, Kehampaan Masa Covid yang Menjadi Sebuah Karya
Agus Koecink yang menjelaskan makna dari salah satu lukisannya dalam pameran Mimesis yang berjudul 'Do'a' (Ryan/SJP)

Surabaya, SJP - "Meniru apa yang ada di alam, mengembangkan dalam berbagai imajinasi sebagai sumber penciptaan karya seni" ucap Agus Koecink, seorang seniman kawakan asal Jawa Timur.

Pameran tunggal bertajuk "Mimesis" yang menghiasi Basement Alun-alun Balai Pemuda Kota Surabaya sejak 18 hingga 31 Mei ini, merupakan hasil dari apa yang Agus alami, rasakan dan lihat di masa pandemi Covid-19 yang sempat membuat dunia terasa terhenti kala itu.

Ratusan karya yang ia pamerkan dalam pameran tunggal ke-7 olehnya ini, merupakan hasil tangkapan dirinya terhadap esensi dari isolasi dan keheningan yang ia rasakan selama masa pandemi Covid-19.

Saat berkunjung ke pameran tersebut, tim suarajatimpost.com berkesempatan untuk mendengar langsung proses kreatif dibalik terlaksananya pameran Mimesis oleh Agus Koecink yang punya cerita mendalam.

"Ingat waktu pandemi, semua orang terisolasi dan banyak dari kita yang tidak bisa berbuat apa-apa," terang Agus, Rabu (22/5).

"Jadi sewaktu pandemi, kebetulan saya sedang ada di studio, disitu saya melihat pohon dan beragam binatang, yang sebenarnya sudah ada sebelumnya, namun tidak sempat saya amati saat kehidupan masih normal," imbuhnya.

Dalam keheningan tersebut, tercetus ide dari Agus dan mendorong dirinya memulai melakukan studi sketsa untuk meniru dari apa yang ia amati, layaknya konsep Mimesis, namun menggunakan karakter dan ide dari dirinya sendiri.

Sebagai informasi, Mimesis adalah sebuah konsep yang berasal dari bahasa Yunani kuno, yang berarti "peniruan" atau "representasi", istilah ini sendiri sering digunakan dalam filsafat, seni, dan sastra untuk merujuk pada proses atau tindakan meniru alam atau realitas. 

"Karena itu judulnya Mimesis, namun saya lebih ambil konsep dari Aristoteles yang beranggapan bahwa manusia juga memiliki ide, bukan Plato yang konsepnya meniru harus sama," bebernya.

Terlihat lukisan, patung, instalasi hingga karya eksperimental yang Agus pamerkan dalam Mimesis ini mengangkat tema alam, namun pohon dan binatang itu ia kreasikan dengan imajinasi Agus hingga wujudnya bahkan menyerupai alien bahkan juga robot.

"Pameran ini menampilkan bentuk yang berbeda dari sebelumnya, lebih tentang menghidupkan garis, dalam artian saya menirukan alam itu namun ingin saya hidupkan melalui garis saya," ujar Agus.

Salah satu karya yang paling menonjol ialah lukisan dengan media spidol, spray dan Acrylic on Canvas (AoC) berukuran 140x180 cm yang ia beri judul "Do'a", yang mana lukisan ini merupakan hasil dari pengamatan Agus saat merawat satu keluarganya yang sempat terkena Covid-19.

"Saya ingin menunjukkan bahwa saat sesuatu melanda seseorang, mereka akan tetap berusaha hidup walau hanya bisa pasrah dengan berdo'a, jika ada apa-apa, mereka (manusia) akan mengaduh ke alam," ujar penulis buku 'Senirupa Senyap' itu.

Dalam lukisan itu, ia menggambarkan 5 orang yang sedang berdoa, mempresentasikan keluarganya yang pasrah akan Pandemi Covid-19, namun dengan dikelilingi oleh alam seperti hewan dan tumbuhan yang terlihat tidak terpengaruh akan kondisi yang menghentikan kehidupan normal manusia.

Selain menjadi seorang perupa senior yang juga sempat mendapatkan Beasiswa Residensi di Perancis pada tahun 2010, 2011 dan 2014, dalam Mimesis ia juga menghadirkan karya eksperimental yang ia beber di tengah-tengah area pameran.

"Karya itu sebenarnya catatan saya selama melukis ini, ya sekalian ingin lihat reaksi pengunjung, tidak jarang ada yang nendang, ya berarti (penendang) jiwa seninya kurang," ucap Agus dengan nada bercanda.

Dengan digelarnya pameran Mimesis, Agus menaruh harap agar pemerintah, khususnya Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya agar terus menambah ruang-ruang publik representatif untuk para seniman.

"Menurut saya ya, yang butuh ruang tudak hanya para pedagang, namun seniman sendiri juga perlu adanya ruang publik representatif yang mana pemerintah harus turun untuk mewujudkan itu," harap Agus.

"Ini juga karena Surabaya memiliki sejarah dalam seni rupa modern, dan pemerintah juga memiliki tanggungjawab untuk memajukan kebudayaan," pungkasnya. (*)

Editor: Rizqi Ardian 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow