Meretas Warna, Menambah Makna: Pameran Lukisan Hitam Putih untuk Generasi ke Generasi di Dekesda
Pameran "Black & White For Generation to Generation" di Sidoarjo tidak hanya sebagai upaya untuk menghormati karya legendaris Alm. Achmad Chusnan, tetapi juga menjadi ajang eksplorasi kreatif bagi seniman-seniman yang terjun dalam lukisan hitam putih.
Surabaya, SJP – Lukisan memiliki kekuatan untuk melampaui batasan waktu, bagaikan peti yang menyimpan emosi, ide, dan cerita dari sang kreator melalui setiap sapuan kuas dan goresan pensilnya, menghadirkan keindahan dan makna yang tetap relevan dari generasi ke generasi.
Nilai itu tercermin dalam ruang Galeri Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda), yang menjadi saksi bisu penyelenggaraan pameran lukis hitam putih bertajuk "Black & White: For Generation to Generation", sebagai tribut terhadap pelukis kondang asal Kota Surabaya, yakni almarhum Achmad Chusnan.
Dalam pameran yang sudah dibuka sejak Sabtu (22/6) hingga 30 Juni 2024 ini, karya Chusnan tidak hanya dipajang sebagai penghormatan saja, namun juga disandingkan dengan puluhan karya peserta pameran yang tidak sedikit mengambil inspirasi dari sang maestro.
Pameran ini sendiri digagas oleh Komunitas Ilustrasi Idiom, diketuai oleh perupa Roman Chuza, berdampingan dengan Ridwan SS. yang mana keduanya juga bukan aktor baru dalam dunia lukisan hitam putih, maupun seni rupa secara umum.
Tim suarajatimpost.com berkesempatan hadir dalam kegiatan tersebut dan berbicara langsung dengan Roman untuk mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang tujuan dan makna di balik pameran yang diikuti sekitar 40 peserta dari berbagai daerah ini.
"Disini para seniman akan didorong untuk bermain di warna yang terbatas, memberikan pemahaman mengenai hitam putih untuk kuasai dimensi ruang dan cahaya," ujar Roman di depan lukisannya yang berjudul 'Transit', Selasa (25/6).
Terlihat setiap sudut di 3 ruang Galeri Dekesda dipenuhi karya hitam putih dari berbagai seniman dengan makna dan ceritanya masing-masing, beberapa dari mereka bahkan membawa 2 hingga 3 lukisan dengan beragam media, mulai dari pensil, charcoal (arang), hingga akrilik.
"Ada yang tidak jadi ikut karena memang membuat lukisan hitam putih tidaklah mudah, tetapi banyak dari mereka tetap hadir untuk memeriahkan acara, karena tujuan utamanya memang untuk saling silaturahmi," terangnya.
Usai berbicara santai dengan Roman, tim suarajatimpost.com juga bertemu dengan salah satu seniman senior yang menjadi tamu di kegiatan ini, yakni Setyoko yang beranggapan bahwa pameran hitam putih bagaikan oase di tengah maraknya pameran seni yang serba warna-warni.
"Seni lukis hitam putih adalah dasar, namun tujuan pameran ini bukan untuk kembali ke dasar itu sendiri, melainkan sebagai media ekspresi untuk ungkapkan gagasan dan ide yang lebih tegas dari para seniman," jelas Setyoko.
Di tengah-tengah pembicaraan, ia memanggil Roman dan Ridwan untuk memberikan mereka apresiasi, namun setelahnya ia mengingatkan bahwa kritik dari masyarakat dan media penting untuk perkembangan seni, tak terkecuali perkembangan dari senimannya.
"Masyarakat, termasuk juga media harus berani mengkritik tanpa melakukan tawar-menawar, jika kedepan pameran Roman dan Ridwan tidak ada perkembangan, maka kritik harus dilontarkan," tegasnya.
Dengan lugas, Setyoko juga mengkaitkan makna pameran hitam putih yang menunjukkan dasar dari seni rupa dengan fungsi dasar dari Jurnalistik, yakni menjadi pemberi informasi yang real (nyata) dan pemberi kritik yang kritis.
"Bahkan sebagai manusia, kita harus hitam atau putih, jelas dan tidak abu-abu," tandas Setyoko sebelum mengakhiri pembicaraan dengan berfoto bersama Roman dan Ridwan di depan karyanya yang berjudul 'Concert for Peace'.
Selepas menikmati setiap karya di pameran tersebut, tim suarajatimpost.com juga sempat mewawancarai Ribut Wijoto, Ketua Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) yang menyambut baik penyelenggaraan pameran ini.
"Dekesda adalah rumah bersama milik penggiat dan pelaku seni, jadi kami sangat berterima kasih kepada panitia karena membuat banyak perupa yang belum mengenal, jadi tahu keberadaan Dekesda," ungkap Ribut.
Dengan latar belakang sastra, ia mengaku kagum terhadap orang-orang yang spesifik dan terjun ke dalam ruang-ruang terbatas, layaknya dedikasi para seniman di pameran ini yang membatasi diri mereka pada dua warna saja.
"Dengan membatasi ruang, maka disitu mereka melakukan 2 hal, yakni eksplorasi dan kedalaman," jelasnya.
Ribut melihat bahwa pembatasan warna justru memicu kreativitas lebih dalam melalui proses degradasi, sapuan, tebal tipis, dan teknik lainnya yang menghasilkan banyak sensasi visual.
Mengakhiri pembicaraan, Ribut berharap kegiatan yang diikuti oleh peserta dari berbagai daerah seperti Sidoarjo, Malang, Surabaya, Lumajang, hingga Jakarta ini menjadi jembatan untuk dalam membawa dampak positif bagi seni dan budaya di Sidoarjo.
"Jadi tidak hanya pamerannya saja yang menjadi besar, namun seni budaya di Sidoarjo juga ikut besar bersamanya," tutup Ribut.(*)
Editor: Tri Sukma
What's Your Reaction?