Ibu Korban Perundungan di Ponpes Lawang Tolak Cabut Laporan ke Polisi, Ini Alasannya

Saya sebagai orang tua terutama ibu, minta keadilan yang seadil-adilnya, ST masih rutin ke dokter, lukanya sudah mengering cuma sering nyeri, untuk Psikologinya yaitu emosi labil, masih trauma harus didampingi terus oleh kami dan psikiater.

16 Feb 2024 - 13:15
Ibu Korban Perundungan di Ponpes Lawang Tolak Cabut Laporan ke Polisi, Ini Alasannya
Kediaman korban perundungan disertai penganiyaan yang terjadi disalah satu Ponpes Lawang Kabupaten Malang (Hafid/SJP)

Kabupaten Malang, SJP — Sekira pukul 15.00 WIB, pada Jumat (16/2/2024), Jurnalis Suarajatimpost.com mendatangi kediaman ST (15), korban perundungan di salah satu Pondok Pesantren di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang Jawa Timur yang sempat santer di media sosial baik Facebook maupun Instagram beberapa waktu lalu.

Disambut ramah oleh ibu korban berinisial NH mengatakan bahwa kejadian perundungan terjadi pada tanggal 4 Desember 2023 akhir tahun lalu.

NH mengurai berdasarkan apa yang diceritakan korban bahwa peristiwa tersebut terjadi usai Salat Ashar ketika ST akan mengambil pakaian ditempat binatu atau laundry di area Ponpes tersebut.

"Anak saya ke laundry tanya, apakah laundry saya sudah selesai ?, ga ada ini, ga ada sebab anak saya langsung di piting (leher diapit siku tangan) diarahkan ke meja, sempat mau disetrika ke mukanya tapi gak ngefek," terangnya, Jumat (16/2/2024).

Menurut NH, anaknya sempat tidak bisa bernafas dan berontak saat setrika mengarah ke mukanya, sehingga pelaku menyetrika dadanya.

"Karena berontak, langsung di nyos ke dadanya," NH kisahkan kejadian.

Sang ibu melanjutkan kejadian tragis tersebut, bahwa peristiwa yang dialami ST di hari Senin baru diketahui hari Rabu dari telepon (Handphone) yang anaknya pinjam dari ustaznya.

"Gini mas ya, kejadian itu hari Senin. Selasa saya belum tahu, baru di hari Rabu anak saya nelpon pakai salah satu HP ustaznya, 'Ma aku sakit, Ayah suruh jemput', perasaan kulo mboten sekeco kulo video call kok mboten diangkat (perasaan saya tidak enak, saya video call tapi tidak diangkat)," ujar NH.

Awalnya, ST (korban) mengaku ke ibunya jika ia sakit panas, untuk kemudian sang ibu menyuruh ayah korban menjemput ke Pondok.

Namun sayang, ketika sampai di Ponpes, ketika Ayah (YA) menjemput korban, pihak Ponpes belum memberi izin.

"Lha, di pondok ketika ST dijemput, belum dapat izin karena ustaznya tidur, dan akhirnya balik ayahnya, balik maleh wangsul (balik lagi pulang), dan ayahnya bilang 'nanti kalau sudah dapat izin WA nak, lalu jam 1 baru diperbolehkan pulang," terangnya.

Hal yang disayangkan oleh NH adalah, sama sekali tidak ada ustaz atau guru di Ponpes yang memberitahu bahwa ada kejadian tersebut.

"Jadi anak saya turun sendiri, ketika sudah pulang saya lihat anak saya dan bertanya apa yang sakit, namun anak saya tak menjawab karena masih lemas, hingga anak saya menjerit nangis dan mengatakan, 'aku disetrika ma', saya lemas saat itu," terangnya.

Menurutnya ada pengobatan internal dari pondok yakni salep bioplasenton, namun tetap saja sang ibu korban membawa anaknya ke salah satu Rumah Sakit karena luka bekas terbakar setrika bernanah.

"Pagi hari Jumat Karena lukanya sudah serius dan sempat infeksi, saya bawa ke Rumah Sakit untuk penanganan," ucap NH sambil agak terisak.

Hal yang lagi-lagi disesalkan oleh NH adalah hingga ST dibawa Ke Rumah Sakit dihari Jumat pihak pondok sama sekali tidak ada yang berkunjung.

"Ayahnya di rumah waktu saya antar ST ke Rumah Sakit, saya hubungi, dan saya tanya, mungkin ada salah satu dari orang pondok atau pihak pondok yang ke rumah, namun tidak ada, niku kulo sambil nunggui yugo kulo (Itu saya sambil menunggu anak saya di Rumah Sakit), bahkan hingga usai Jumatan (Salat Jumat) pihak pondok ya gak ada," NH mengisahkan.

Ia sangat menyayangkan apa yang menjadi tanggung jawab sebuah Ponpes untuk hanya sekedar berkunjung atau memberikan info tentang terjadinya penganiyayaan terhadap anaknya.

"Sabar saya terbatas, dan akhirnya sabtu jam 4 sore, ada pihak pondok ke rumah," katanya.

NH kembali kisahkan bahwa anaknya berada di Ponpes yang berada di Lawang sejak kelas 2 SLTP.

Sang anak atau korban yang memilih untuk menjadi santri di Ponpes tersebut karena ketika ia bersekolah sering bertemu para santri atau murid ponpes.

NH katakan, jika pelaku adalah kakak tingkatnya kelas 3 SLTA yang tega perlakukan hal tersebut kepada anaknya.

"Saya sebagai orang tua terutama ibu, minta keadilan yang seadil-adilnya, ST masih rutin ke dokter, lukanya sudah mengering cuma sering nyeri, untuk Psikologinya yaitu emosi labil, masih trauma harus didampingi terus oleh kami dan psikiater dari LBH," paparnya.

Hingga hari ini, ST belum sekolah karena jika anaknya melihat santri-santri yang berkaitan dengan pondok ST merasa takut.

NH sang ibu berharap ST melanjutkan sekolah lagi dengan pantauan yang lebih dekat agar NH dapat mendampingi.

"Soalnya dengan kejadian ini saya juga trauma, ayahnya juga sangat sedih, dan menyayangkan kejadian itu, yang jelas pindah saja dari sekolahan itu," tukasnya.

NH berharap kejadian di akhir tahun 2023 lalu yang mencuat di bulan ini, memang menjadi hal yang patut untuk diungkap agar hal demikian tidak terulang di Ponpes manapun.

NH juga katakan jika ia dan suaminya tak akan mencabut laporan yang telah sampai pihak Polres Malang.

"Keluarga pelaku dan pelaku sudah kesini, cuma intinya minta maaf, minta dicabut laporannya, namun saya dan ayahnya gak setuju," tandasnya.

Diakhir wawancara NH meminta doa untuk disampaikan kepada kawan-kawan khususnya masyarakat agar ST cepat pulih, psikisnya, traumanya, utamanya untuk keberlangsungan pendidikan yang seharusanya didapatkan dengan aman.

Pasalnya hal ini berdampak pada korban, dan menimbulkan cacat seumur hidup.

"Kalau mandi melihat bekas luka, (ST) emosi, dan berdampak kepada adiknya yang masih kelas 2 SD, jadi kita harus dampingi, dampingi dan harus sabar lagi, ngoten (begitu)," pungkasnya.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow