Sebanyak 20 Desa di Jombang Jadi Lokus Penanganan Stunting karena Kasus Tinggi
20 desa lokus stunting itu dinyatakan dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 188.4.45/79/415.10.1.3/2024 tentang Lokus Prioritas Percepaan Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten Jombang.
JOMBANG, SJP - Isu stunting menjadi persoalan serius yang terus menjadi atensi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang.
Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB PPPA) Jombang mencatat, ada 20 desa menjadi lokus penanganan, karena tingginya kasus stunting.
Kepala DPPKB PPPA Jombang, dr Pudji Umbaran mengungkapkan, 20 desa lokus stunting itu dinyatakan dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 188.4.45/79/415.10.1.3/2024 tentang Lokus Prioritas Percepaan Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten Jombang.
"Desa yang jadi lokus stunting memiliki kasus balita stunting di atas 30. Yakni Rejoagung Ngoro yang paling banyak dengan 84 balita stunting, dan 341 keluarga berisiko stunting," ungkapnya melalui sebuah pesan singkat, Jumat (8/11/2024).
dr. Pudji lanjut merinci, di Desa Watugaluh, Kecamatan Diwek terdapat 48 kasus stunting. Di Desa Madiopuro, Kecamatan Sumobito terdapat 46 kasus. Di Desa Kedunglumpang, Kecamatan Mojoagung sebanyak 45 kasus.
"Lalu Desa Mojokrapak, Kecamatan Tembelang 43 kasus. Desa Losari, Kecamatan Ploso 43 kasus. Desa Sebani, Kecamatan Sumobito 42 kasus. Desa Keras, Kecamatan Diwek 42 kasus," urainya.
Berikutnya ada juga di Desa Pandanwangi, Kecamatan Diwek sebanyak 35 kasus. Kemudian di Desa Wonosalam, Kecamatan Wonosalam sebanyak 34 kasus.
"Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang 34 kasus. Desa Sumobito, Kecamatan Sumobito 32 kasus. Desa Purisemanding dan Desa Tondowulan, Kecamatan Plandaan masing-masing 32 kasus," bebernya.
Tak hanya itu, ada juga di Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito dan Desa Dukuhmojo, Kecamatan Mojoagung yang masing-masing terdapat 41 kasus.
"Kemudian, ada Desa Tanggalrejo, Kecamatan Mojoagung dengan 39 kasus. Desa Curahmalang, Kecamatan Sumobito, Desa Ploso, Kecamatan Ploso, Desa Gedongombo, Kecamatan Ploso yang masing-masing 37 kasus," terangnya.
Mantan direktur RSUD Jombang itu mengatakan, tidak hanya kasus balita stunting yang tinggi, namun keluarga berisiko stunting juga tinggi.
"Tidak hanya jumlah balita stunting yang tinggi. Keluarga berisiko stunting juga tinggi. Jumlahnya bervariasi, ada yang 70 keluarga, ada yang mencapai lebih dari 400 keluarga," urainya.
Dia menyebut, berdasarkan hasil analisa yang dilakukannya, rata-rata balita mengalami stunting pada rentang usia 6 bulan sampai 1,5 tahun, atau pascamasa pemberian makanan pendamping air susu ibu (mpasi). Seharusnya meja konseling di posyandu tidak boleh dilewatkan.
"Padahal harusnya, pada saat penimbangan, jika balita tidak mengalami kenaikan berat badan, atau justru mengalami penurunan berat badan, kader harus memberikan konseling kepada ibu," tuturnya.
"Kami minta kader untuk membuat atau memberikan video singkat, tentang bagaimana cara memberikan mpasi yang tepat," kata dr. Pudji.
Dia menegaskan, orang tua yang balitanya mengalami stunting, tidak efeltif jika harus mengandalkan bantuan dari pemerintah saja.
"Kalau mengandalkan bantuan, beban pemerintah akan sangat berat. Sehingga yang paling penting adalah memberikan pemahaman kepada seluruh ibu balita dan baduta, untuk memberikan ketercukupan gizi. Tetap memberikan ASI dan mpasi yang tepat," ujarnya.
Ini dikarenakan, tidak semua orang tua yang balitanya stunting adalah balita dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Bahkan setengah dari kasus yang terjadi berasal dari keluarga mampu.
"Yang biasanya orang tuanya berkarier, balita dititipkan kepada nenek, atau pengasuh yang tidak memiliki pengetahuan cukup untuk pengasuhan yang tepat," tandasnya. (*)
Editor: Ali Wafa
What's Your Reaction?