Baru Nyoblos? Pemilih Pemula Harus Pilih Kandidat Berintegritas, Jangan Terbuai Politainment

Komisi Pemilihan Umum menetapkan pemilih Pemilu 2024 lebih dari 204 juta orang (204.807.222). Daftar pemilih tetap (DPT) ini naik 12 juta dari Pemilu 2019.

26 Jan 2024 - 08:30
Baru Nyoblos? Pemilih Pemula Harus Pilih Kandidat Berintegritas, Jangan Terbuai Politainment
Simulasi pemungutan suara di Kabupaten Bondowoso (Foto : Rzq/SJP)

PESTA demokrasi yang tinggal 19 hari lagi, akan mencatatkan sejarah baru siapa yang akan memimpin Indonesia 5 tahun mendatang. Tak hanya itu, akan ada wakil rakyat baru pada 14 Februari 2024 nanti.

Menariknya, kontestasi politik tahun ini, berbeda jauh dengan tahun 2019 silam. Pasalnya, saat ini dominasi pemilih pemula yang mayoritas adalah kaum generazi Z, jumlahnya naik drastis dibandingkan 5 tahun silam.

Tentunya, keberadaan generasi Z ini sangat berpengaruh pada perolehan suara, baik Pilpres maupun Pileg. Semua yang berkontestasi dalam pesta demokrasi 14 Februari nanti, bahkan rela mati-matian merebut hati dan suara para pemilih pemula.

Dilansir dari laman resmi Pusat Edukasi Antikorupsi, Komisi Pemilihan Umum menetapkan pemilih Pemilu 2024 lebih dari 204 juta orang (204.807.222). Daftar pemilih tetap (DPT) ini naik 12 juta dari Pemilu 2019.

Rinciannya, 203.056.758 pemilih dalam negeri dan 1.750.474 pemilih di luar negeri. Mereka tersebar di 823.220 tempat pemungutan suara (TPS).

Mayoritas pemilih (52 persen) merupakan pemilih muda (17-40 tahun). Ada 66.822.389 pemilih (33,6 persen) masuk kategori generasi milenial (lahir 1980-1994) dan 46.800.161 pemilih (22,85 persen) adalah generasi Z (Gen Z).

Generasi terakhir tersebut berusia antara 17-21 tahun pada hari pencoblosan nanti. Untuk kali pertama mereka akan menggunakan hak suaranya.

Dengan suara sebesar itu, kalangan muda target potensial yang layak dipertimbangkan. Di Jawa Barat, daerah dengan DPT terbanyak (35 juta), misalnya, ada 7,5 juta (21 persen) ialah pemilih pemula.

Sejak medio 2023 hingga Januari ini, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di daerah-daerah kerja keras rekam data KTP elektronik untuk pemilih pemula. Di Tasikmalaya, misal, petugas dukcapil sampai jemput bola ke sekolah-sekolah dan rumah warga.

Strategi kampanye paslon capres/cawapres dan caleg pun berubah. Mereka merasuk ke kehidupan anak-anak muda melalui  media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube.

Karena politik elektoral di Indonesia sangat pragmatis, tak sedikit kandidat berjualan profil diliputi gimik-gimik, bukan gagasan-gagasan, semisal joget TikTok, jargon-jargon politik dangkal asal viral.

Suara pemilih muda atau pemula pun cenderung hanya dijadikan komoditas politik.

Politainment

Ada istilah “politainment” yang muncul di akhir abad 20. Pada 1998, David Schultz, profesor Ilmu Politik Universits Minnesota Amerika Serikat, menulis tentang politainment kala Jess Ventura terpilih sebagai Gubernur Minnesota, AS. Jess Ventura, salah satu contoh bagaimana politainment bekerja ketika pemilihan berlangsung.

Politainment perpaduan antara “politics” dan “entertainment”. Dalam makalah “Politainment in Egyptian and German Newspaper: A Comparative Study”, peneliti Sara S Elmaghraby menyebut ada dua hal yang terkandung dalam politainment, yaitu hiburan politik dan politik yang menghibur.

Kedua hal itu juga menggambarkan kondisi Pemilu 2024 di Indonesia. Para kandidat menggunakan cara-cara hiburan untuk mempromosikan citra diri, seperti joget gemoy, live TikTok, politik santuy, memakai model kostum tertentu, gimik anime, humor slepet, dan lain-lain.

Pendek kata, para kandidat atau politisi lebih banyak menampilkan hiburan, bukan subtansi apa yang dikampanyekan. Ini yang perlu diwaspadai oleh para pemilih pemula dan pemuda.

Di era politainment seperti sekarang, narasi yang dibangun oleh kandidat atau politisi cenderung bukanlah realitas sesungguhnya, tapi narasi yang cenderung palsu (false narrative). Fungsinya menutupi fakta-fakta tentang para kandidat.

Menurut David Schultz dalam buku “Politainment The Ten Rules of Contemporary Politics”, politik adalah tentang mendefinisikan atau terdefinisikan, di mana “citra adalah segalanya”.

Untuk memoles citra, kini para kandidat menggunakan berbagai media, terutama media sosial yang dipakai pemilih muda dan pemula. Para kandidat berupaya mengeksploitasi narasi untuk mendapatkan perhatian pemilih pemula.

Bagaimana pun, kata Schultz, “Politik adalah sebuah cara bercerita, mobilisasi, dan menangkap swing voter (pemilih mengambang). Ini tentang bagaimana mengelola citra juga.”

“Inilah dunia multimedia di mana politik dan budaya pop hiburan menyatu. Kita hidup dalam persaingan pesan, semua mencari perhatian kita,” katanya.

Oleh karenanya, sobat SJP, khususnya yang baru akan memilih pertama kali, gunakan hak suara kalian dengan benar. Jangan pernah tukar suara kalian dengan sembako, uang, atau hal-hal lain. Suara kalian sangat menentukan ke mana bangsa dan negara ini bakal dibawa.

Pilihlah mereka yang berintegritas, jejak rekamnya, laporan harta dan kekayaannya, periksa latar belakang parpol pengusung, dan bagaimana mereka berkampanye: tabrak aturan atau tidak.

Suara pemilih pemula dan muda memberikan kontribusi besar. Mari, kita serukan untuk ramai-ramai menggunakan suara dengan integritas. Sekali lagi, tolak segala bentuk “serangan fajar” praktik ini merupakan penghianatan terhadap integritas. (**)

Editor : Rizqi Ardian
Sumber : Pusat Edukasi Antikorupsi

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow