Artificial Intelligence; Akankah Bisa Menggantikan Profesi Advokat?

Dalam menghadapi pertanyaan apakah AI akan menggantikan profesi advokat, penting untuk mempertimbangkan bahwa meskipun AI telah membawa perubahan signifikan dalam praktik hukum, penulis berpendapat bahwasanya peran advokat sebagai penilai hukum yang kritis dan pembela kepentingan klien tetap tidak tergantikan.

02 Aug 2024 - 15:30
Artificial Intelligence; Akankah Bisa Menggantikan Profesi Advokat?

Pertanyaan seputar penggantian profesi advokat oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menimbulkan diskusi intens dalam beberapa tahun terakhir. Dengan kemajuan pesat dalam bidang machine learning, pemrosesan bahasa, dan analisis data, AI telah mampu menangani tugas-tugas yang sebelumnya dianggap eksklusif bagi manusia termasuk dalam praktik hukum. Namun, apakah AI benar-benar mampu menggantikan peran advokat secara menyeluruh?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengeksplorasi aspek-aspek teknologi AI yang relevan dalam konteks hukum, termasuk kelebihan dan keterbatasan AI serta mempertimbangkan dasar hukum dan etika yang terlibat dalam penerapannya. Penerapan AI dalam praktik hukum sejauh ini telah memberikan dampak yang signifikan dalam beberapa aspek diantaranya yaitu:

  1. Pencarian Informasi Hukum: AI memungkinkan advokat untuk melakukan pencarian hukum yang lebih cepat dan efisien melalui basis data yang luas, termasuk putusan pengadilan, regulasi, dan dokumen hukum lainnya.
  2. Analisis Dokumen: Teknologi machine learning memungkinkan AI untuk menganalisis dokumen hukum seperti kontrak dan perjanjian dengan tingkat akurasi yang tinggi, mengidentifikasi ketidaksesuaian, dan menghitung risiko potensial.
  3. Prediksi Hukum: AI dapat digunakan untuk memprediksi hasil kasus berdasarkan analisis data historis, faktor-faktor yang relevan, dan perkembangan hukum terkini.
  4. Automasi Tugas Rutin: Tugas-tugas administratif seperti penyusunan dokumen standar, pengelolaan jadwal, dan administrasi kasus dapat diotomatisasi menggunakan AI, membebaskan waktu advokat untuk fokus pada tugas-tugas yang memerlukan penilaian hukum yang lebih mendalam.

Seorang advokat tidak hanya membutuhkan pengetahuan hukum yang mendalam tetapi juga keterampilan dalam menganalisis fakta, menafsirkan hukum, dan berkomunikasi secara efektif dengan klien dan di muka pengadilan.

Profesi ini melibatkan penalaran yang kompleks, negosiasi, dan strategi yang tidak selalu dapat direplikasi oleh AI, terutama dalam konteks kepekaan sosial dan etika. Beberapa praktisi hukum dan perusahaan hukum telah mengadopsi pendekatan hybrid, di mana mereka menggunakan teknologi AI untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam beberapa aspek pekerjaan mereka, sementara masih mempertahankan peran krusial advokat dalam penilaian, strategi, dan komunikasi.

Pemanfaatan AI di dunia hukum terkhusus pada pekerjaan advokat tidak hanya berkaitan dengan disrupsi teknologi yang bisa memudahkan pekerjaan seorang advokat saja tetapi juga harus dibarengi dengan pertimbangan dalam segi etika penggunaannya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penggunaan AI pada profesi advokat diantaranya yaitu:

  1. Privasi dan Keamanan Data: Penggunaan AI dalam ranah hukum mengharuskan perhatian yang besar terhadap privasi dan keamanan data. Advokat harus memastikan bahwa data klien dan informasi hukum sensitif tidak terekspos atau disalahgunakan oleh sistem AI.
  2. Ketepatan dan Akurasi: Meskipun AI dapat menghasilkan analisis dan prediksi dengan tingkat akurasi yang tinggi, keputusan hukum akhir masih harus disesuaikan dengan penilaian manusia. Advokat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa saran hukum yang diberikan kepada klien didasarkan pada pemahaman yang komprehensif terhadap perkara yang sedang ditangani tersebut.
  3. Keterlibatan Manusia Dalam Pengambilan Keputusan: Praktik hukum sering kali melibatkan aspek-aspek yang tidak terstruktur, seperti negosiasi, strategi kasus, dan penilaian moral atau etis. Keterlibatan manusia masih diperlukan dalam membuat keputusan-keputusan ini yang melibatkan pertimbangan konteks sosial, budaya, dan keadilan.
  4. Kekurangan Konteks: Meskipun AI dapat mengolah data, kekurangan dalam memahami konteks sosial, politik, dan etika dapat membatasi kemampuannya untuk menawarkan saran hukum yang holistik.
  5. Keterbatasan Kreativitas: Resolusi konflik dan penalaran hukum sering kali memerlukan kreativitas dan inisiatif, yang saat ini tidak dapat dicapai sepenuhnya oleh AI.
  6. Aspek Kemanusiaan: Hubungan antara advokat dan klien serta penanganan kasus yang sensitif secara emosional masih memerlukan interaksi antar manusia yang mendalam dan pemahaman secara personal.

Pada Pasal 1 angka 8 Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjelaskan bahwasanya “Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu Tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.”

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa posisi AI saat ini merupakan agen elektronik, karena AI masih dioperasikan oleh seseorang yang menghendaki suatu tindakan tertentu dengan menggunakan AI. Jika terdapat perkembangan AI yang melampau tindakan manusia maka definisi Pasal 1 angka 8 UU ITE tidak lagi bisa digunakan sebagai landasan pengaturan AI di Indonesia.

Perkembangan teknologi AI sudah yang semakin pesat tidak lagi sesuai dengan ruang lingkup pengaturan yang ada di UU ITE menjadi salah satu permasalahan yang terjadi di Indonesia. Misalnya pengaturan dalam UU ITE belum mengatur mengenai tindakan yang dapat dilakukan oleh AI tanpa perintah dari manusia.

Regulasi harus disiapkan dalam rangka untuk mengantisipasi hal tersebut untuk melindungi kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo mengenai hukum progresif yang menyatakan bahwa hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Oleh karena itu, hukum selalu berada pada status “law in the making” (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).

Dengan demikian, menjadi penting bagi para pembentuk kebijakan untuk segera mengantisipasi keberadaan AI dengan regulasi yang mampu menjangkau segala tindakan yang dilakukan dengan menggunakan AI.

Tantangan dalam Menggantikan Peran Advokat dengan AI

Meskipun AI menawarkan banyak potensi keuntungan, ada tantangan-tantangan yang harus diatasi sebelum teknologi ini dapat sepenuhnya menggantikan peran advokat:

1. Konteks Sosial dan Budaya: Pemahaman terhadap nuansa dan konteks sosial dalam kasus hukum sering kali sulit dipahami sepenuhnya oleh sistem AI, yang cenderung beroperasi berdasarkan data historis dan algoritma.

2. Kreativitas dan Penalaran: Resolusi konflik dan penalaran hukum sering memerlukan kekreatifan dan kemampuan untuk berpikir di luar kotak, yang merupakan aspek yang sulit ditiru oleh AI.

3. Hubungan Klien-Advokat: Hubungan yang dibangun antara advokat dan klien sering kali didasarkan pada kepercayaan, empati, dan pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan klien. Ini adalah aspek yang sulit direplika oleh teknologi.

Kecerdasan buatan akan terus berkembang, dan dampaknya terhadap profesi advokat akan terus dievaluasi. Sementara beberapa tugas mungkin diotomatisasi, peran advokat dalam menganalisis kasus secara mendalam, menawarkan saran hukum yang personal, dan mewakili klien di pengadilan tetap penting dan tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh teknologi.

Penting untuk terus mengembangkan pendekatan yang seimbang antara teknologi canggih dan kepekaan manusia dalam memberikan pelayanan hukum yang optimal bagi masyarakat.

  1. Dalam menghadapi pertanyaan apakah AI akan menggantikan profesi advokat, penting untuk mempertimbangkan bahwa meskipun AI telah membawa perubahan signifikan dalam praktik hukum, penulis berpendapat bahwasanya peran advokat sebagai penilai hukum yang kritis dan pembela kepentingan klien tetap tidak tergantikan.
  2. Terlebih keterbatasan AI yang tidak memiliki rasa, karsa, dan hati nurani menjadi suatu alasan yang kuat AI tidak dapat menggantikan advokat sebagai penentu keadilan atau kebijakan. Integrasi teknologi AI dengan peran advokat manusia mungkin akan menjadi model yang paling efektif dan berkelanjutan untuk masa depan, memungkinkan pemanfaatan keunggulan teknologi sembari tetap mempertahankan esensi dari kebutuhan manusia dalam proses hukum yang adil.

Penulis: Dinda Ayu Sabrina Mahasiswa UMM peserta COE magang di Kantor Advokat ASMOJODIPATI LAWYER'S 

Disclaimer: Segala isi di rubrik OPINI, baik berupa teks, foto, maupun gambar merupakan pendapat pribadi penulis dan segala konsekuensi bukan menjadi tanggung jawab redaksi

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow