Aksi Koboy PCNU Bojonegoro di Pilkada, Politicking Organisasi Non Politik

Secara tidak langsung, pengurus PCNU Bojonegoro hari ini telah mendegradasi marwahnya sebagai penjaga moral ummat, penjaga kualitas demokrasi dan penyeimbang jalan tengah yang berdiri diatas semua golongan, turun derajat selevel dengan komunitas- komunitas dan organ-organ taktis yang menjamur di musim pilkada.

22 Sep 2024 - 10:30
Aksi Koboy PCNU Bojonegoro di Pilkada, Politicking Organisasi Non Politik
Murtadho (Penulis) yang juga pegiat NU Garis Lurus Bojonegoro. Foto:(Ist/SJP)

Sesuai dengan jadwal dan tahapan pilkada sebagaimana yang termaktub dalam PKPU No. 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024, penetapan pasangan calon secara resmi baru akan ditetapkan pada 22 September 2024. 

Namun, sejumlah kelompok masyarakat mulai dari komunitas, LSM, organ-organ taktis dan bahkan organisasi sosial keagamaan telah melakukan mobilisasi dan deklarasi dukungan terhadap calon tertentu. Sementara partai politik sebagai institusi yang mengusung pasangan calon yang didaftarkan di KPU belum terlihat, hanya memanaskan mesin saja.

Satu diantara organ yang telah mengkonsolidasi diri adalah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bojonegoro. Sebagai sebuah organisasi terbesar yang notabene adalah organisasi sosial keagamaan, PCNU Bojonegoro telah berdiri paling depan melakukan konsolidasi dan mendeklarasikan bahkan melakukan kegiatan taktis pendataan untuk memenangkan pasangan calon bupati tertentu.

Dalam Anggaran Dasar NU Bab I Pasal 3 disebutkan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai Badan Hukum Perkumpulan bergerak dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial. Alih-alih menjaga amanah Anggaran Dasar, justru para pengurus NU Bojonegoro secara vulgar menyeret NU ke arena politik praktis.

Secara tidak langsung, pengurus PCNU Bojonegoro hari ini telah mendegradasi marwahnya sebagai penjaga moral ummat, penjaga kualitas demokrasi dan penyeimbang jalan tengah yang berdiri diatas semua golongan, turun derajat selevel dengan komunitas- komunitas dan organ-organ taktis yang menjamur di musim pilkada. 

What happen, apa yang sebenarnya terjadi, mengapa PCNU Bojonegoro begitu gege mongso memutuskan mandat sosialnya? Benarkah ada tekanan dari pusat atau sejatinya ini hanya akal-akalan sejumlah pengurus untuk mengamankan diri saja?

Adu Cepat Berebut Simpati Pusat.

Gonjang ganjing ditubuh PCNU Bojonegoro menjelang Konferensi Cabang (Konfercab NU) sudah santer terdengar. Manuver sekelompok nahdliyin dan beberapa MWCNU yang secara intens telah berkomunikasi dengan PBNU untuk berebut restu pada kontestasi Konfercab PCNU membuat iklim semakin gaduh. Wal hasil, perhelatan Konfercab NU Bojonegoro yang seharusnya dilaksanakan pada bulan Juli 2024 gagal dilaksanakan.

Tentu saja, tertundanya pelaksanaan Konfercab pada Juli 2024 membuat sejumlah pengurus ketar-ketir. Lobby-lobby dan koordinasi dengan PBNU dilakukan. Hasilnya, SK Caretaker tidak ada dan gantinya adalah SK perpanjangan yang berlaku tiga bulan dan seharusnya sudah berakhir di awal bulan September 2024 ini.

Sebelum SK perpanjangan berakhir, Ketua Umum dan Sekretaris Umum PBNU, Gus Yahya dan Gus Ipul berkunjung ke Bojonegoro dalam rangka pelantikan rektor baru Universitas NU Sunan Giri (Unugiri). Acara pelantikan ini juga dihadiri oleh Menteri Sekretaris Negara Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc yang kebetulan adalah kakak dari Setyo Wahono, salah satu kontestan di Pilkada Bojonegoro.

Kehadiran tiga petinggi pusat ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh PCNU Bojonegoro untuk meraih simpati. Pengurus PCNU Bojonegoro menggelar acara Silaturahim dan Konsolidasi bersama seluruh Lembaga dan Badan Otonom dan Perwakilan MWC NU. 

Meski konsolidasi PBNU-PCNU ini sebenarnya sebagai hal yang lumrah dan normal, tidak ada perbincangan tentang politik daerah, juga tidak menyebutkan menyebutkan secara nyata nama calon atau partai tertentu. Namun, semua tahu kemana angin sedang dihembuskan. 

Dan tidak berselang lama, untuk membuktikan kepatuhannya kepada PBNU, PCNU Bojonegoro menggelar safari politik yang dikemas dengan Acara Silaturrahim dan Konsolidasi Organisasi Bersama MWC NU dan Badan Otonom di 28 MWCNU se kabupaten Bojonegoro.

Pada acara ini, secara terbuka, tegas dan tanpa tedeng aling-aling, PCNU Bojonegoro mendeklarasikan diri dan memberikan dukungan politiknya kepada pasangan Setyo Wahono dan Nurul Azizah pada Pilkada 2024 ini.

Aksi gerak cepat ini dilakukan bahkan sebelum KPU menetapkan secara sah pasangan calon bupati dan wakil bupati di Pilkada 2024. Jelas kentara sekali, PCNU Bojonegoro tidak mau kalah cepat dengan sekelompok oknum nahdliyin dan beberapa MWCNU yang juga akan membawa suara NU untuk mendukung calon yang sama.

Dari runtutan peristiwa dalam tiga bulan terakhir, hubungan kausalitasnya dapat dibaca dengan jelas dan terang. Ada kompetisi adu cepat merebut simpati pusat. Dan satu-satunya jalan menyelamatkan posisi adalah membarter suara Jam’iyyah NU sesuai dengan keinginan pusat.

Jalan Keluar dari Jebakan Kepentingan

Aksi politicking yang dilakukan oleh PCNU Bojonegoro dengan memandatkan dukungan suara nahdliyyin kepada salahsatu calon di kontestasi Pilkada 2024 ini adalah sebuah tindakan pelanggaran berat etika berorganisasi. Terlebih, didalamnya ada kader-kader IPNU IPPNU yang seharusnya ditanamkan kesadaran ber NU yang adil sejak dini.

Sebagai organisasi sosial keagaamaan terbesar, PCNU Bojonegoro seharusnya melepaskan diri dari kepentingan politik praktis. Berdiri tegak dan berjarak yang sama dengan semua partai atau kandidat kontestasi politik yang ada.

Lebih fatal lagi, jika aksi itu hanya dikarenakan adanya jebakan sorak sorai sekelompok kompetitor dan keinginan mendapatkan dukungan dan simpati lebih personal PBNU dalam rangka memuluskan kekuasaan di NU . 

Polemik kontestasi kepemimpinan di tubuh PCNU saat ini seharusnya tidak boleh dibaca sebagai ancaman. Bahwa dinamika kepemimpinan NU adalah sebuah keniscayaan. Periodesasi kepemimpinan akan terus berganti sepanjang waktu bahkan ilaa yaumil akhir.

Untuk itu, perlu digaris bawahi kepemimpinan di NU sebagai sebuah sistem jam’iyyah bukan kepemimpinan personal. Siapapun yang menjadi pemegang amanah menahkodai PCNU harus memegang teguh Qonun Asasi dan empat prinsip dasar ber aswaja ala NU dalam rangka membangun mabadi’ khoiru ummah.

Terakhir, mengutip pernyataan Gus Yahya di laman nu.or.id saat konferensi pers di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Kamis (6/6/2024) yang menyatakan bahwa bahwa, dalam Pilkada, pengurus NU diminta tidak boleh membawa lembaga. Warga NU berhak membuat pilihan politiknya masing-masing, tapi jangan membawa-bawa lembaga. Jangan berkampanye atas nama pengurus NU.

Penulis : Murtadho Pegiat NU Garis Lurus Bojonegoro Tinggal di Jalan Dewi Sartika Bojonegoro

Disclaimer: Segala isi di rubrik OPINI, baik berupa teks, foto, maupun gambar merupakan pendapat pribadi penulis dan segala konsekuensi bukan menjadi tanggung jawab redaksi

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow