Penyidikan Perkara Ruko Simpang Tiga Jombang Dihentikan, Kejaksaan Klaim Selamatkan Miliaran Rupiah
Penghentian penyidikan telah disetujui oleh Kepala Kejari Jombang Agus Chandra sejak tanggal 3 September 2024.
Kabupaten Jombang, SJP - Proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam penggunaan barang milik daerah, yakni Ruko Simpang Tiga Jombang, resmi dihentikan oleh pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Jombang.
Penghentian penyidikan telah disetujui oleh Kepala Kejari Jombang Agus Chandra sejak tanggal 3 September 2024.
"Saya sudah menyetujui penghentian penyidikan terkait dengan Ruko Simpang Tiga," kata Agus Chandra lewat pesan ditulis wartawan, Rabu (11/9/2024).
Langkah penghentian penyidikan kasus dilakukan karena tim penyidik Kejaksaan tidak menemukan pembuktian unsur kerugian uang negara.
Namun, jika ditemukan bukti baru terdapat pihak masih mengklaim dan mendapatkan manfaat tidak sesuai ketentuan akan dilakukan penyidikan kembali.
"Untuk kasus 22 pemegang eks HGB di atas HPL ini kami hentikan. Secara tertulis tidak ada perjanjian sewa, namun mereka menyadari secara tidak tertulis mengakui dan membayar walaupun belum melunasi semuanya," ujar Agus Chandra.
Kawasan Ruko Simpang Tiga peruntukan awal merupakan bekas terminal kedatangan dan pemberangkatan angkutan umum di Jombang. Pada tahun 1996, terminal Jombang pindah ke area Desa Kepuhkembeng, Kecamatan Peterongan, Jombang.
Sementara, bekas terminal beralih fungsi dan digunakan untuk Ruko Simpang Tiga. Saat beralih fungsi itulah, ada sekitar 22 orang menempati ruko tersebut dengan status Hak Guna Bangunan (HGB).
Perihal HGB sendiri sudah habis masa berlakunya sejak 2016 lalu. Para penyewa tetap menempati tempat dengan dalih sudah melakukan pengajuan perpanjangan HGB dan memiliki sejumlah dokumen sebagai dasar menempati.
Sejak 2016 itu juga tidak ada sikap apapun dari Pemkab Jombang mengenai status keabsahan penghuni menduduki lokasi Ruko Simpang Tiga. Sampai kemudian di tahun 2022 muncul temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada potensi kerugian negara senilai Rp 5 miliar.
Agus menerangkan jika para penghuni ruko ingin memperpanjang untuk menempati ruko, semestinya dapat dilakukan dengan cara sewa. Namun, sejak tahun 2016 sampai adanya pemeriksaan BPK, mereka langsung dipotong piutang total sebesar Rp 5 miliar.
"Inilah yang harus kami selesaikan, kami juga sudah melakukan konsultasi dan sama persepsi kami dengan BPK perwakilan Jatim bahwa pada saat itu dipukul rata 55 ruko per tahun Rp 19 sampai Rp 22 juta dikalikan sampai dengan periode 2021," terangnya.
Agus menjelaskan, dari kasus Ruko Simpang Tiga itu, pihaknya mengklaim berdasarkan upaya penghimpunan dana dari para penghuni Ruko telah menyelamatkan Rp 2,6 miliar.
"Jadi uang sebesar Rp 2,6 miliar ini merupakan pembayaran yang dilakukan oleh eks pemegang HGB diatas HPL kepada Pemda berdasarkan hasil pemeriksaan BPK pada tahun 2022 yang kemudian ditindaklanjuti oleh Sekda untuk melakukan penagihan," jelasnya.
Pada saat itu, ia menjelaskan jika BPK menyatakan Rp 5 miliar, namun pihaknya baru menerima pembayaran dari masyarakat sebagai eks pemegang HGB di atas HPL sebanyak Rp 2,6 miliar.
Sementara untuk sisanya, pihaknya menjawab masih punya instrumen penyelesaian lain dan telah berkomunikasi dengan Pemkab Jombang untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi terhadap pemegang eks HGB di atas HPL setelah berakhirnya HGB di atas HPL di tahun 2016.
"Karena kita semua tahu, sejak tahun 2016 itu tidak semua ruko digunakan. Sehingga membuat tidak juga semuanya memiliki piutang terkait pemanfaatan ruko tersebut," tandasnya.
Ia mengatakan, juga mengharapkan sinergi dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian sebagai pengguna barang. Kolaborasi sangat pihaknya harapkan untuk mengidentifikasi dan menginventarisasi, kemudian melakukan penyelesaian terhadap sisa piutang.
Agus menjelaskan, hampir semua membayar, hanya saja sebagian besar baru membayar Rp 5 juta. Karena pihaknya memahami jika posisi kasus penggunaan Ruko Simpang Tiga ini simpang siur.
"Setelah sekitar 8 bulan kami dalami itu menjadi jelas bahwa setelah berakhirnya HGB di atas HPL pada bulan November tahun 2016 maka tanah ini harus dikembalikan kepada Pemda dan bangunan hasil kerja sama menjadi milik Pemkab Jombang," pungkasnya. (*)
Editor : Rizqi Ardian
What's Your Reaction?