Pakar ITS: Dinamika Geopolitik dan Anomali Iklim Picu Inflasi di Indonesia

Selain konflik antar negara khususnya Iran dan Israel, anomali iklim akibat dampak El-Nino juga berperan dalam kemerosotan ekonomi di Indonesia.

14 May 2024 - 20:15
Pakar ITS: Dinamika Geopolitik dan Anomali Iklim Picu Inflasi di Indonesia
Konflik antar negara dan anomali iklim picu kemerosotan ekonomi di Indonesia (Ryan/SJP)

Surabaya, SJP - Belum usai konflik yang terjadi antara Ukraina dan Russia, kini konflik di Timur Tengah juga ikut memanas dimana hal ini mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian di beberapa negara, tak terkecuali Indonesia. 

Berkenaan dengan itu, pakar demografi dan ekonomi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr Sonny Harry Budiutomo Harmadi SE ME membagikan pandangannya terkait dinamika inflasi yang terjadi di tanah air saat ini.

Dinamika ketegangan geopolitik yang terjadi, khususnya antara Israel dan Iran saat ini turut menekan perekonomian dunia karena memicu kenaikan harga minyak.

Bagaimana tidak? di bagian selatan dari Negara Iran yang sedang berkonflik, membentang Selat Hormuz yang menjadi jalur penting bagi perdagangan minyak dunia.

“Kondisi tersebut berimbas pada harga minyak dunia yang semakin tinggi,” ujar Sonny, Selasa (14/5).

Dosen Departemen Studi Pembangunan ITS ini mengungkapkan, dampak secara tidak langsung turut dirasakan Indonesia berupa inflasi yang memicu kenaikan harga barang. 

Kondisi ini tercermin dari naiknya tingkat inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) sejak April 2024 yang mana Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa IHK secara bulanan mencapai 0,25 persen dan 3,00 persen secara tahunan.

Namun, Sonny menjelaskan, dinamika inflasi tak hanya dipengaruhi oleh konflik antar negara, namun anomali iklim akibat dampak El-Nino juga berperan dalam kemerosotan ekonomi di Indonesia.

“Cuaca buruk yang beriringan dengan musim panen menyebabkan Inflasi komponen bergejolak atau volatile food,” tuturnya.

BPS mencatat, kelompok volatile food (Inflasi akibat bahan makanan) pada April 2024 mengalami penurunan harga sebesar 0,31 persen secara bulanan, di mana angka ini lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mengalami inflasi sebesar 2,16 persen.

Pemerintah sendiri telah berupaya untuk memitigasi kondisi inflasi dengan pengendalian harga barang konsumsi, yakni menyelenggarakan operasi Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dan menyalurkan bantuan pangan beras. 

“Solusi ini untuk mencegah harga komoditas pangan semakin melonjak,” terang Sonny.

Selain upaya pengendalian oleh pemerintah, masyarakat juga diharapkan bijak dalam mengalokasikan pendapatannya, yang mana bagi Sonny oenyting untuk menentukan skala prioritas terhadap konsumsi barang yang akan dibelanjakan. 

“Prioritas utama adalah pembelanjaan barang pangan atau kebutuhan mendesak lainnya seperti pendidikan,” tambahnya.

Selain ke pemerintah, Sonny juga mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan produktivitasnya dalam bekerja, seperti mencari sumber penghasilan tambahan melalui bisnis sampingan ataupun investasi. 

Sonny mengangkat hal ini karena investasi bisa menjadi solusi dalam lingkup personal untuk dalam menghadapi inflasi.

Investasi jangka panjang dapat dilakukan dengan mengalokasikan pendapatan pada aset yang berpotensi tumbuh nilainya, seperti properti, saham, atau reksadana.

"Investasi bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi inflasi,” tutupnya.(*)

Editor: Tri Sukma

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow