Maraknya Anak Bermasalah dengan Hukum, Apa yang Salah?
Fenomena orang tua yang selalu ingin menjadi ‘pahlawan’ bagi anaknya, seperti membereskan segala kekacauan yang dibuat anak. Kebiasaan ini justru membuat anak tidak mandiri dan tidak bertanggung jawab atas tindakannya.
SURABAYA, SJP - Belakangan ini, kasus anak-anak yang berhadapan dengan hukum semakin marak terjadi. Mulai dari tindakan kriminal hingga masalah sosial, fenomena ini menjadi alarm bagi masyarakat, terutama para orang tua, untuk lebih peka terhadap pola pengasuhan anak.
Menanggapi fenomena ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Surabaya, beranggapan bahwa kesalahan dalam pola asuh menjadi salah satu akar penyebab anak terjerumus dalam perilaku yang melanggar hukum.
Ketua Komnas PA Surabaya, Syaiful Bachri, menjelaskan bahwa pola asuh yang keliru sering kali dimulai dari niat baik orang tua yang kurang tepat dalam penerapannya.
“Sebagai orang tua, kita wajib mendukung perkembangan anak. Namun, memberikan apa saja yang diminta anak tanpa batasan justru membentuk keyakinan bahwa mereka berhak atas segala keinginannya. Hal ini berdampak buruk pada karakter anak saat dewasa,” tegas Syaiful, saat ditemui pada Minggu (24/11/2024).
Syaiful menyoroti bahwa sikap orang tua yang terlalu memanjakan anak, seperti selalu memenuhi keinginan mereka hanya karena tangisan atau rengekan, menciptakan pola pikir bahwa segala sesuatu bisa diperoleh dengan mudah. Tanpa adanya aturan, batasan, dan konsekuensi, anak tidak belajar menghargai proses atau menerima kegagalan.
“Banyak orang tua yang cenderung membela anak meski mereka salah. Anak tumbuh tanpa memahami arti tanggung jawab dan akhirnya tidak mandiri. Perilaku ini menjadi salah satu penyebab anak terjerumus dalam tindakan kriminal,” ujar Syaiful.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa kecukupan finansial orang tua juga kerap menjadi pisau bermata dua. Ketika segala kebutuhan anak terpenuhi tanpa usaha, mereka cenderung mengabaikan nilai kerja keras. Bahkan, dalam beberapa kasus, anak-anak ini rela mengambil hak orang lain untuk memenuhi keinginan pribadi mereka.
Selain itu, perilaku permisif orang tua yang menganggap tindakan buruk anak sebagai sesuatu yang lucu juga turut memperparah masalah ini.
“Banyak orang tua yang tidak mau menegur ketika anak berkata kasar atau melakukan tindakan tidak senonoh. Ini memunculkan budaya bullying yang dianggap wajar oleh anak. Padahal, perilaku ini akan berdampak besar pada perkembangan sosial mereka di masa depan,” jelas Syaiful.
Ia juga menyoroti fenomena orang tua yang selalu ingin menjadi ‘pahlawan’ bagi anaknya, seperti membereskan segala kekacauan yang dibuat anak. Kebiasaan ini justru membuat anak tidak mandiri dan tidak bertanggung jawab atas tindakannya.
Sebagai penutup, Syaiful menekankan pentingnya peran orang tua dalam membangun karakter anak sejak dini. Pola asuh yang sehat melibatkan pemberian batasan yang jelas, konsekuensi yang tegas, serta pendidikan nilai-nilai moral dan sosial.
“Reward dan punishment harus diterapkan secara seimbang. Anak perlu belajar bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik positif maupun negatif,” pungkasnya.
Kasus anak bermasalah dengan hukum menjadi cerminan bahwa pola pengasuhan bukan sekadar memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga membentuk mental dan karakter.
Dengan pola asuh yang tepat, diharapkan generasi mendatang mampu tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab, mandiri, dan memiliki empati terhadap sesama. (*)
Editor: Rizqi Ardian
What's Your Reaction?