Ketika Konstitusi Dikhianati : Masa Depan Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk
Jika perlawanan rakyat gagal, ancaman terhadap stabilitas demokrasi Indonesia semakin nyata. Oligarki dan dinasti politik bisa terus menggerus kedaulatan rakyat, menjadikan demokrasi sekadar simbol tanpa makna
Di era Presiden Jokowi, kita melihat suatu realitas politik yang penuh paradoks: sebuah negara yang mengaku demokratis, tetapi semakin hari semakin menampakkan wajah autokrasi. Seolah-olah demokrasi hanyalah sebuah dekorasi yang indah di permukaan, sementara di balik layar, penguasa sibuk menata ulang peta politik sesuai selera oligarki.
Terkini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang seharusnya menjadi penopang demokrasi, menetapkan ambang batas pencalonan kepala daerah dan syarat minimal usia sebagai bentuk penghormatan terhadap proses yang lebih inklusif dan representatif.
Namun, apa yang terjadi? Pemerintah dan DPR RI seolah tidak puas dengan aturan main yang lebih adil. Bukannya menghormati keputusan yang final dan mengikat tersebut, mereka justru lebih dalam dengan membangkang secara terang-terangan.
Dampaknya? Sistem pemilihan kepala daerah yang seharusnya melahirkan pemimpin-pemimpin muda berbakat dan bebas dari cengkeraman politik lama, kini kembali terancam dikuasai dinasti politik dan oligarki yang hanya peduli pada kelanggengan kekuasaan.
Jadi, di mana letak demokrasi yang katanya milik rakyat? suara rakyat perlahan dibisukan oleh mereka yang berdiri di puncak kekuasaan. Terus terang, sepertinya kita perlu mendefinisikan ulang apa arti demokrasi dalam konteks rezim ini.
Di tengah gemuruh yang diklaim sebagai pesta demokrasi, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) dengan segala kebijaksanaannya mengeluarkan putusan yang seharusnya menjadi patokan tak terbantahkan, mereka yang duduk di kursi kekuasaan justru memilih untuk berpaling.
Mengapa? Tentu saja, jawabannya adalah karena dorongan yang lebih kuat dari kepentingan oligarki dan nepotisme. Bukannya memperjuangkan demokrasi yang sehat, pemerintah dan DPR malah tampak sibuk merajut kepentingan pribadi dan kroni-kroninya, memastikan bahwa roda kekuasaan tetap berputar di tangan yang sama.
Dengan demikian, keputusan politik bukan lagi tentang apa yang benar atau salah menurut hukum, melainkan tentang siapa yang memiliki pengaruh lebih besar dan kantong lebih dalam.
Pun, oligarki dan nepotisme bukanlah aktor pendukung, melainkan bintang utama dalam panggung politik Indonesia. Mereka yang berada di puncak piramida kekuasaan menggunakan segala cara untuk mempertahankan status quo, termasuk mengabaikan keputusan hukum yang tidak sejalan dengan ambisi mereka.
Demokrasi yang seharusnya menjadi perwujudan kedaulatan rakyat kini terancam berubah menjadi sekadar sandiwara belaka, di mana rakyat hanya menjadi penonton pasif dari skenario yang sudah ditentukan. Jika oligarki dan nepotisme terus mendikte arah politik, maka demokrasi kita sedang menuju kematiannya yang perlahan tapi pasti.
Di sisi lain, kelompok Petisi 100 muncul sebagai respon keras terhadap apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan terang-terangan terhadap konstitusi dan demokrasi oleh pemerintah dan DPR. Dipimpin oleh berbagai tokoh nasional dengan latar belakang militer, aktivis, dan ulama, kelompok ini beranggotakan individu-individu yang telah lama dikenal sebagai pengkritik tajam rezim oligarki dan nepotisme.
Nama-nama seperti Marwan Batubara, Letjen TNI Purn. Suharto, Mayjen TNI Purn. Soenarko, dan Habib Muhsin Alatas adalah sebagian kecil dari suara lantang yang menggerakkan perlawanan terhadap dominasi oligarki di Indonesia. Mereka tidak segan-segan menyebut pemerintah dan DPR sebagai pengkhianat konstitusi, dengan menuduh keduanya telah membelokkan jalur demokrasi demi keuntungan segelintir elit dan dinasti politik .
Kritik Petisi 100 sangat keras, menyebut bahwa tindakan pemerintah dan DPR yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan langkah sistematis untuk merampas kedaulatan rakyat dan mengubah Indonesia menjadi negara yang dikuasai oleh kepentingan oligarki.
Dalam pandangan mereka, demokrasi bukan lagi soal suara rakyat, melainkan soal siapa yang memiliki kekuatan uang dan jaringan politik yang kuat. Petisi 100 menuduh bahwa rezim ini semakin otoriter, brutal, dan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Sebagai bentuk perlawanan, Petisi 100 mengajak rakyat untuk bangkit melawan rezim yang mereka pandang sebagai pembegal demokrasi. Mereka mengeluarkan seruan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk turun ke jalan, melakukan aksi demonstrasi yang direncanakan berlangsung di berbagai daerah, dengan fokus utama di Jakarta pada 22-23 Agustus 2024.
Dengan aksi ini, Petisi 100 berharap dapat menggugah kesadaran masyarakat bahwa demokrasi adalah milik mereka, dan tidak boleh dibiarkan diambil alih oleh oligarki yang rakus.
Pembangkangan pemerintah dan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) jelas membawa dampak besar bagi penyelenggaraan Pilkada dan Pilpres 2024. Jika tindakan ini terus berlanjut, legitimasi proses pemilihan dapat diragukan, menciptakan krisis kepercayaan yang mengakar di tengah masyarakat.
Ketidakmampuan pemerintah untuk menegakkan hukum dengan benar dapat membuka pintu bagi manipulasi politik yang lebih dalam, di mana oligarki dan dinasti politik semakin mengukuhkan kekuasaan mereka. Akademisi hukum tata negara bahkan telah menyerukan boikot Pilkada 2024 jika pemerintah dan DPR tetap mengabaikan putusan MK, sebuah langkah drastis yang mencerminkan betapa seriusnya ancaman terhadap demokrasi .
Jika aksi perlawanan masyarakat, seperti yang digalakkan oleh kelompok Petisi 100, gagal menghentikan langkah rezim ini, stabilitas demokrasi di Indonesia berada dalam ancaman yang nyata. Demokrasi yang dulunya hidup dan dinamis bisa berubah menjadi formalitas kosong, sementara kekuasaan terus berputar di lingkaran elite politik. Situasi politik saat ini mencerminkan ketegangan besar antara rakyat yang memperjuangkan hak mereka dan rezim yang semakin otoriter.
Masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada sejauh mana rakyat mampu melawan intervensi oligarki. Apakah kita akan membiarkan demokrasi dirampas atau justru bangkit untuk mempertahankannya? Akademisi hukum tata negara menyadari bahwa tanpa tindakan nyata, demokrasi kita mungkin hanya akan menjadi ilusi yang dibajak oleh kepentingan segelintir elit.
Dalam realitas politik di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, kita menyaksikan wajah demokrasi yang semakin memudar dan digantikan oleh cengkeraman oligarki serta nepotisme. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 seharusnya menjadi penegak demokrasi yang inklusif dan representatif, namun malah dibangkang oleh pemerintah dan DPR demi melanggengkan kekuasaan.
Kelompok Petisi 100 dan para akademisi hukum tata negara menyerukan boikot Pilkada 2024, sebagai bentuk protes terhadap pengabaian keputusan yang final dan mengikat ini. Jika perlawanan rakyat gagal, ancaman terhadap stabilitas demokrasi Indonesia semakin nyata. Oligarki dan dinasti politik bisa terus menggerus kedaulatan rakyat, menjadikan demokrasi sekadar simbol tanpa makna.
Referensi:
Amirullah. “Akademisi Hukum Tata Negara Serukan Boikot Pilkada 2024 Jika Pemerintah-DPR Abaikan Putusan MK.” Nasional Tempo.co, Agustus 2024. https://nasional.tempo.co/read/1906606/akademisi-hukum-tata-negara-serukan-boikot-pilkada-2024-jika-pemerintah-dpr-abaikan-putusan-mk
“Petisi Rakyat Melawan Rezim Pembegal Demokrasi | Radar Sukabumi.” Accessed August 22, 2024. https://radarsukabumi.com/politik/petisi-rakyat-melawan-rezim-pembegal-demokrasi/.
Penulis : W. Aditya Budi Utomo. Peserta program COE UMM magang di Asmojodipati Lawyer's
Disclaimer: Segala isi di rubrik OPINI, baik berupa teks, foto, maupun gambar merupakan pendapat pribadi penulis dan segala konsekuensi bukan menjadi tanggung jawab redaksi
What's Your Reaction?