Kebijakan Penyeragaman Kemasan Rokok Polos Dianggap Diskriminatif
Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek atau kemasan polos telah menuai kritikan dari berbagai pihak
Suarajatimpost.com - Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek atau kemasan polos telah menuai kritikan dari berbagai pihak, yang menyatakan bahwa kebijakan ini berpotensi merugikan baik industri rokok maupun konsumen.
Yuswohady, praktisi merek dan pemasaran, menyatakan bahwa kebijakan ini dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif terhadap merek dagang rokok. Menurutnya, merek adalah cerminan dari kualitas dan diferensiasi produk, yang memudahkan konsumen memilih berdasarkan reputasi dan kepercayaan pada produk tersebut. Jika kemasan rokok diseragamkan tanpa identitas merek, konsumen akan kesulitan membedakan produk berdasarkan kualitas, dan malah akan lebih fokus pada harga yang lebih murah.
"Dampak terburuk dari penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek adalah hilangnya merek dagang. Dilihat dari sisi pemasaran, dampaknya akan banyak muncul produk murah. Yang dikhawatirkan konsumen mencari merek apapun yang cenderung murah. Jadi tidak bersaing soal kualitas, malah bersaing untuk harga murah," jelas Yuswohady seperti dikutip dari Antara, Senin (11/11/2024).
Ia berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan ini, mengingat industri tembakau memiliki rantai nilai yang luas dan merupakan sumber pendapatan negara melalui cukai. Selain itu, banyak pelaku usaha dan tenaga kerja yang bergantung pada keberlangsungan industri ini. "Pemerintah perlu meninjau ulang aturan kemasan polos agar tidak merugikan pihak-pihak tertentu," tegasnya.
Impak pada Industri Rokok Elektronik
Ketua Asosiasi Retail Vape Indonesia (Arvindo), Fachmi Kurnia, juga menyoroti dampak kebijakan kemasan polos terhadap industri rokok elektronik, terutama bagi UMKM yang mendominasi sektor ini. Fachmi menjelaskan bahwa hilangnya identitas merek pada kemasan akan merugikan produsen legal dan kreativitas dalam membangun brand. Tanpa karakteristik visual yang khas, merek dagang tidak lagi dapat membedakan produk, yang pada akhirnya melemahkan daya saing produk lokal.
Menurut Fachmi, kebijakan ini juga bisa menghambat peralihan konsumen ke produk tembakau alternatif yang lebih rendah risikonya, seperti rokok elektronik. "Dengan menghilangkan karakteristik visual yang unik, merek dagang tidak lagi memiliki nilai diferensiasi, dan kreativitas terhadap membangun sebuah brand akan hilang," katanya. Ia menegaskan bahwa kebijakan kemasan polos berisiko merugikan pemerintah, karena akan mempermudah peredaran rokok ilegal.
Fachmi mengingatkan bahwa penting bagi pemerintah untuk melibatkan pelaku usaha dalam diskusi mengenai kebijakan ini, agar regulasi yang dihasilkan tidak hanya efektif dalam melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan industri dan daya saing usaha lokal.
Kebijakan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan
Kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos ini tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Aturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Dampak Ekonomi dan Potensi Penyebaran Rokok Ilegal
Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyampaikan bahwa kebijakan ini berpotensi merugikan penerimaan negara dan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Menurut studi yang dilakukan Indef, dampak ekonomi yang hilang akibat kebijakan ini bisa mencapai Rp 308 triliun. Tanpa identitas merek yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal, sehingga menyulitkan pemerintah dalam pengawasan dan identifikasi produk.
Andry juga memperkirakan bahwa kebijakan ini bisa menyebabkan hilangnya penerimaan pajak sebesar Rp 160,6 triliun atau sekitar 7%, yang dapat membuat target penerimaan negara sulit tercapai. Dengan begitu, sektor tembakau yang sebelumnya menyumbang sekitar 6,9% terhadap PDB Indonesia sebelum pandemi, diprediksi akan semakin tertekan. Selain itu, sektor ini juga menyerap sekitar 2,29 juta tenaga kerja, yang hampir 1,6% dari total tenaga kerja nasional, yang akan terdampak langsung oleh kebijakan ini.
“Pada 2019, industri ini menyerap 32% dari total pekerja di sektor manufaktur. Namun, tekanan regulasi terus membuat para pekerja di sektor ini rentan terdampak,” tambah Andry. (**)
sumber: investor.id
Editor: Ali Wafa
What's Your Reaction?