Ini Alasan Penolakan Proyek SWL Rp 72 Triliun di Surabaya

Pemkot Surabaya tegas menolak reklamasi Surabaya Waterfront Land senilai Rp72 triliun, mendesak solusi atas dampak ekologis, ekonomi, dan sosial yang mengancam kehidupan masyarakat pesisir dan ekosistem mangrove.

08 Jan 2025 - 20:51
Ini Alasan Penolakan Proyek SWL Rp 72 Triliun di Surabaya
Peta proyek Surabaya Waterfront Land yang mencakup area reklamasi seluas 1.084 hektare di pesisir timur Surabaya (Istimewa/SJP)

SURABAYA, SJP - Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL) kembali menjadi sorotan. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, secara tegas menyampaikan bahwa pihaknya mendukung aspirasi masyarakat pesisir yang menolak reklamasi tersebut. 

Dalam pernyataannya, Eri memastikan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah mengirimkan surat kepada Presiden RI terkait dampak buruk yang mungkin timbul dari proyek bernilai Rp 72 triliun ini.

“Surat yang kami kirim berisi penjelasan mendalam tentang dampak-dampak ekologis dan sosial yang akan muncul jika reklamasi ini dijalankan. Aspirasi warga pesisir juga kami sampaikan langsung ke pemerintah pusat,” ujar Eri, Rabu (8/1/2025).

Eri menyoroti risiko besar yang akan dihadapi masyarakat jika ekosistem mangrove yang menjadi benteng alami dari banjir rob hilang akibat reklamasi. 

“Mangrove itu bukan sekadar pohon, tapi pelindung dari banjir rob. Kalau mangrove hilang, dampaknya siapa yang akan menanggung? Ini yang kami tekankan dalam surat tersebut,” katanya.

Pemkot juga menegaskan bahwa proyek ini tidak boleh dijalankan tanpa solusi konkret terhadap dampak yang akan muncul. Hingga saat ini, pemerintah pusat belum mengeluarkan izin untuk proyek SWL. 

“Kami berharap pemerintah pusat mempertimbangkan dengan matang. Surabaya harus tetap menjadi kota yang ramah lingkungan dan berpihak pada warganya,” tambah Eri.

Apa itu Surabaya Waterfront Land?

Surabaya Waterfront Land adalah proyek reklamasi ambisius yang dirancang di kawasan pesisir timur Surabaya, mencakup area seluas 1.084 hektare. Proyek ini dioperatori oleh PT Granting Jaya dengan anggaran mencapai Rp 72 triliun.

Dalam rencana awalnya, proyek ini bertujuan mengembangkan kawasan pesisir menjadi area ekonomi baru dengan fasilitas modern seperti pusat bisnis, pelabuhan, dan kawasan pemukiman eksklusif.

Namun, di balik rencana tersebut, berbagai potensi dampak negatif muncul, di antaranya:

  • Ekologis: Kerusakan ekosistem laut dan hutan mangrove yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Mangrove menjadi habitat bagi berbagai fauna laut sekaligus pelindung alami dari banjir rob.
  • Ekonomi: Kehilangan mata pencaharian bagi nelayan akibat berkurangnya akses ke wilayah tangkapan ikan.
  • Sosial-Budaya: Potensi konflik horizontal antara masyarakat pesisir dan pihak pengembang, serta hilangnya budaya maritim yang menjadi identitas warga pesisir.
  • Infrastruktur: Ancaman banjir di wilayah daratan Surabaya akibat terganggunya sistem drainase. Reklamasi dikhawatirkan menutup muara sungai yang menjadi jalur utama aliran air menuju laut.

Gelombang Penolakan dari Masyarakat

Sejak proyek ini diumumkan, berbagai kelompok masyarakat menyuarakan penolakannya. Mulai dari nelayan, pegiat lingkungan, hingga mahasiswa, semua menyampaikan keresahan mereka.

Salah satu aksi penolakan yang mencuat adalah yang dilakukan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Surabaya. 

PMKRI sempat melakukan demontrasi pada September 2024 lalu, mereka menilai proyek ini tidak memiliki kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memadai dan berpotensi merugikan nelayan.

Meski begitu, aksi-aksi ini tidak hanya dilihat sebagai bentuk protes semata, tetapi juga sebagai suara masyarakat yang ingin mempertahankan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan ekonomi mereka.

Pandangan DPRD Surabaya

Penolakan juga datang dari DPRD Kota Surabaya. Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Eri Irawan, menegaskan bahwa proyek SWL harus ditinjau ulang. Menurutnya, dampak negatif dari proyek ini jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang dijanjikan.

“Kami mempertimbangkan aspek ekologis, ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat pesisir. Jika reklamasi ini berlanjut, Surabaya bisa kehilangan ekosistem lautnya, masyarakat pesisir kehilangan mata pencaharian, dan budaya maritim akan tergerus. Hal ini tidak bisa dibiarkan,” tegasnya.

Sekretaris Komisi C, Alif Iman Waluyo, menambahkan bahwa proyek ini tidak boleh terburu-buru direalisasikan tanpa kajian yang matang. Ia juga mendesak pemerintah pusat untuk lebih transparan dalam menyusun rencana proyek. 

“Data wilayah dan denah proyek ini masih banyak yang tumpang tindih. Jika tidak diluruskan, dampaknya bisa sangat merugikan,” ujarnya.

DPRD membuka peluang diskusi dengan pihak pengembang untuk mencari solusi yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat pesisir. 

“Kami tetap tegak lurus bahwa Surabaya harus mengutamakan masyarakatnya. Jika proyek ini tidak memberikan manfaat nyata bagi warga, sebaiknya dihentikan,” pungkas Alif.

Keputusan akhir terkait kelanjutan proyek Surabaya Waterfront Land ada di tangan pemerintah pusat. Namun, suara masyarakat dan pemerintah daerah sudah jelas: reklamasi ini tidak boleh mengorbankan lingkungan dan kesejahteraan warga Surabaya. (*)

Editor : Rizqi Ardian

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow