Begini Proses Persidangan Perkara Korupsi BKKD di Bojonegoro
Majelis Hakim persidangan perkara dugaan korupsi Bantuan Khusus Keuangan Daerah (BKKD) ungkap aliran dana proyek perbaikan jalan pada 8 Desa, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro.
Surabaya, SJP - Majelis Hakim persidangan perkara dugaan korupsi Bantuan Khusus Keuangan Daerah (BKKD), ungkap aliran dana proyek perbaikan jalan pada 8 Desa, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro.
Sidang dengan agenda keterangan saksi itu terus bergulir di PN Tipikor Juanda, Surabaya, Senin (23/10/2023).
Dalam persidangan, saksi Samsul Huda selaku pelaksana rekanan pengerjaan proyek dicecar pertanyaan terkait penerimaan uang belum diterima sebagai pembayaran.
"Saya merasa dijebak dan diakali oleh Timlak BKKD Desa Dengok dan Desa Tebon, saat menagih uang pembayaran tidak segera dilunasi dari pekerjaan yang sudah saya kerjakan," akunya dihadapan hakim, JPU dan PH terdakwa Bambang Soejatmiko.
"Maksud saksi apa, dijebak dan diakali siapa, coba terangkan dengan jelas biar terang di dengar keterangan saksi di persidangan," sahut tanya Hakim mendengar ada kalimat jebakan dalam pengerjaan proyek rigid beton di Desa Dengok dan Tebon.
Samsul menceritakan, sampai hari ini prestasi pekerjaan proyek rigid betonnya belum dibayar lunas oleh pihak desa.
Di desa Dengok, kata Samsul, hanya untuk pekerjaan pembesian (wiremesh) sepanjang 220 lebar 4 meter dan pengecoran jalan rigid beton atas perintah berita acara yang saat join survey.
Diketahui, pembesian digunakan sebagai penguat atau tulang rangka besi pada saat pengecoran jalan, lantai penguat struktur bangunan.
Lalu hakim bertanya, berapa total nilai proyek pekerjaan yang saksi terima dan kerjakan dari desa melalui Timlak dua desa yang saksi sebutkan.
“Nilai pekerjaan Rp 342 juta untuk Desa Dengok, namun pihak desa baru membayar Rp 222.500.000, sehingga pembayaran kurang Rp 119.500.000,” terang Samsul.
"Itu pun saya menagih langsung ke pihak desa dan kecamatan minta uang sisanya. Dan baru tau kalau pemilik pekerjaannya adalah saudara Bambang yang disampaikan pihak desa," imbuhnya.
Samsul menambahkan, untuk pekerjaan jalan rigid beton di desa Tebon, secara rinci pekerjaan rigid beton sepanjang 373 meter kali lebar 4 meter, dengan nilai pekerjaan Rp 720 juta.
"Uang tersebut baru terbayar Rp 240 juta, jadi masih sisa Rp 480 juta yang masih belum dibayarkan oleh Kepala Desa Tebon," bebernya.
Tak hanya itu, kepada majelis hakim, Samsul mengungkapkan juga sudah pernah menagih dengan cara langsung mendatangi kantor Inspektorat Kabupaten Bojonegoro.
”Saya bertemu dengan pak Budi, pak Agus dan pak Teguh, Inspektur pada inspektorat Bojonegoro. Dalam pertemuan itu saya mempertanyakan atas pekerjaan perbaikan jalan yang saya kerjakan di 2 desa belum dibayar oleh pihak desa,” terangnya.
Alhasil, sebut Samsul lewat petunjuk dari Inspektorat justru diberikan janji atas pembayaran pekerjaan akan dibayarkan menunggu dari proses perolehan fakta persidangan seperti apa, maka akan dilunasi sisa hak pembayaran pekerjaan tersebut.
Samsul pun merasa kecewa dan dirugikan karena spesifikasi harga rigid beton yang telah dikerjakannya di dua desa (Dengok dan Tebon) diturunkan semurah- murahnya dan tidak sesuai harga kesepakatan antara Timlak BKKD dan dirinya selaku rekanan penyedia barang dan jasa.
”Harga kesepakatan dengan Timlak Rp. 600 ribu per meter kubik. Tapi oleh inspektorat hanya diberi harga Rp 450 ribu per meter kubik," ulasnya.
"Ini sudah tidak untung, uang juga tidak dibayar lunas. Kata pak Teguh disuruh nunggu fakta persidangan berakhir. Nanti kalau putusannya disuruh bayar, ya akan dibayar,” kata Samsul dengan nada kecewa karna yang dipakai modal uang sudah terlanjur memutarkan uang dari pinjaman bersama dengan teman.
”Saya dikenalkan dengan saudara Bambang (terdakwa,red) oleh teman saya, awalnya. Bambang sendiri lah yang mempertemukan saya dengan Timlak desa. Dari Timlak saya mendapatkan pekerjaan proyek BKKD, dan diberikan berita acara penunjukkan pengerjaan proyek untuk melanjutkan.
Dari situ, urai Samsul, pekerjaan hanya satu minggu saja tiba-tiba disuruh berhenti oleh Timlak desa. Dengan alasan belum jelas sampai sekarang, hanya dijawab uangnya habis.
Dilanjutkan oleh PH terdakwa bertanya kepada saksi Samsul, Pinto Utomo menanyakan perihal teknis pemesanan barang sampai pembayaran pernah tidak dilampirkan LPj untuk mengetahui sesuai standart apa belum.
"Waktu itu saya sempat laporan ke pihak desa tapi ditolak desa terkait tagihan pembayaran pekerjaan sudah sesuai. Lalu oleh oleh pihak desa diarahkan ke Inspektorat. Itu saja," jawab Samsul.
Kemudian, PH bertanaya apakan ada intansi baik itu Inspektorat atau pihak PU (pekerjaan umum) yang melakukan pengawasan pekerjaan, sudah sesuai mutu apa belum.
"Tidak ada," jawab Samsul.
Namun saat itu, kata Samsul, dirinya sempat tahu jika Pak Budi dari Inspektorat pernah datang ke pabrik untuk kroscek mutu bahan pekerjaan rigid beton yang membuat Mixing Plant, suatu tempat pengolahan produksi aspal/hotmix beton terdiri dari mesin, alat berat (molen) dalam skala besar.
"Yang intinya, pekerjaan saya sudah saya tagih di bulan Maret tahun 2022. Saat itu anggaran masih ada dijawab oleh Isna (Timlak Desa Dengok) dan Puniran (Timlak Desa Tebon). Alasan itu niat saya bekerja melanjutkan," akunya.
Terkait komplain pembayaran oleh desa, Samsul juga memberi kesaksian bahwa kenapa kalau negara dirugikan ranahnya Tipikor, tapi kalau orang kecil dirugikan kok malah diinjak.
"Apa saya jebol saja dari pekerjaan jalan yang sekarang dipakai sudah dilewati. Saran pak Teguh dari Inspektorat tidak boleh seperti itu. Jangan, kalau kamu benar ya sudah yang penting impas saja nunggu fakta persidangan," kata Samsul mengutip perkataan Kepala Inspektorat Kabupaten Bojonegoro, Teguh.
Untuk diketahui sebelumnya, sembilan desa di Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro, tahun 2021 lalu, mendapat kucuran dana pembangunan jalan bersumber dari APBD melalui BKKD.
Diantaranya, Desa Cendono Rp 1.739.100.000, Kebonagung Rp 668.910.000, Kendung Rp 594.550.000, Kuncen Rp 696.765.920, Ngeper Rp 843.160.000, Dengok Rp 1.726.230.000, Prangi Rp 1.975.819.700, Purworejo Rp 2.171.725.600 dan Tebon Rp 1.941.940.000.
Luluk Alifah selaku Kepala Badan Pengolahan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Bojonegoro telah memberi keterangan di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Senin (4/9/2023). Dirinya menerangkan jika semua BKKD sudah cair semua.
Diakuinya, secara administrasi dianggap sudah selesai, karena ada tanda tangan dari kepala desa. Karena tahapan pencairan melalui proses dari desa, kecamatan, Dinas PU Bina Marga dan BPKAD. Jadi, pencairan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dilakukan karena administrasi sudah selesai semua.
"Secara teknis kami tidak tau kondisi di lapangan. Secara administrasi kami anggap sudah selesai," ucapnya.
Bahkan, menurut Luluk Alifah yang bertanggungjawab semuanya yaitu Kepala Desa.
"Yang mengajukan pencairan itu dari Kepala Desa," cetusnya saat menjadi saksi di persidangan.
Ironisnya, pekerjaan di 8 Desa wilayah Kecamatan Padangan tanpa proses lelang juga diterangkan dari saksi Eks Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa (Kasi PMD) Kecamatan Padangan Tamzil, Senin (9/10/2023).
"Saya tau pekerjaan itu salah, makanya saya selalu mengingatkan kepada kepala desa agar melakukan mekanisme lelang. Saya juga ingatkan Timlak, kalau kesulitan, silahkan berhubungan dengan pak Bambang,” jelas Tamzil.
Selain Tamzil, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kabupaten Bojonegoro juga memanggil Nur Khalim Kaur Keuangan Desa Prangi, Farida Agustin Ekowati Desa Prangi. Akibat tidak melalui proses mekanisme pelelangan, Negara merugi Rp 1,6 miliar.
Menanggapinya, Pinto Utomo selaku kuasa hukum terdakwa (Bambang Soejatmiko), para Kades ini tidak melakukan mekanisme lelang semestinya berdasarkan Juklak atau Juknis dan Perbup 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengadaan Barang dan Jasa di Desa.
Padahal, dalam aturan secara tegas menyebut Kades adalah penanggung jawab mutlak baik formil maupun materil atas kesalahan pengelolaan dan Penggunaan Dana Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) yang tidak dilakukan secara prosedural.
Untuk itu, karena sudah terungkap dalam fakta persidangan dalam perkara dugaan korupsi yang menjerat Bambang Soedjatmiko.
Pihaknya meminta Penyidik Polda Jatim ataupun Kejaksaan lebih berani mengungkap tentang siapa yang menjadi aktor intelektual perkara ini.
“Kalau tidak maka saya sebagai pengacara khawatir masyarakat tidak percaya lagi dengan aparat penegak hukum sebagai garda terdepan penegakan hukum di Indonesia,” pungkas Pinto. (*)
Editor : Queen Ve
What's Your Reaction?