AI Berpotensi Ganggu Stabilitas Ketenagakerjaan? Begini Penjelasan Pakar Ekonomi Unair

Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut AI memiliki bisa memperbesar ketimpangan dan mengakibatkan 40 persen lapangan pekerjaan hilang untuk manusia tergantikan oleh AI itu sendiri.

20 Apr 2024 - 12:30
AI Berpotensi Ganggu Stabilitas Ketenagakerjaan? Begini Penjelasan Pakar Ekonomi Unair
Pakar Ekonomi Unair, Prof Dr Sri Herianingrum SE MSc menanggapi potensi AI terhadap stabilitas ketenagakerjaan (Dok. Humas Unair/SJP)

Surabaya, SJP - Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan memang sedang dalam proses perkembangan yang pesat di era modern ini. Namun perkembangan tersebut dirasa berpotensi mengancam stabilitas ketenagakerjaan, khususnya di Indonesia.

Bahkan, Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut AI memiliki bisa memperbesar ketimpangan dan mengakibatkan 40 persen lapangan pekerjaan hilang untuk manusia tergantikan oleh AI itu sendiri.

Menjawab perkara tersebut, Pakar Ekonomi Universitas Airlangga Prof Dr Sri Herianingrum SE MSc menyebut ancaman-ancaman itu akan menyasar pada pekerjaan yang hanya membutuhkan keterampilan rendah, karena semua pekerjaan memang dapat tergantikan dengan otomatisasi teknologi, seperti robot.

“Pekerjaan skill rendah yang bisa dilakukan otomatis dengan robot dan seterusnya itu juga akan mengurangi jumlah tenaga kerja pula, contohnya pekerjaan di sektor jasa, terutama yang melibatkan tugas-tugas rutin dan repetitif (berulang),” ujar Sri, Sabtu (20/4/2024).

Baginya, penggunaan AI dalam lembaga perbankan dapat mengarah pada pengurangan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk tugas-tugas administratif dan layanan pelanggan yang tentunya akan timbul pengurangan pekerjaan dengan sistem otomatis oleh AI.

Sri menegaskan bahwa harus ada perhatian yang berlebih pada upaya menghadapi dampak AI, karena meski adopsi kecerdasan buatan dapat meningkatkan produktivitas secara keseluruhan, hal itu juga dapat menyebabkan pergeseran struktur pasar ke arah perusahaan yang lebih mengandalkan modal dan teknologi (kapital intensif).

“Hal ini dapat mengarah pada peningkatan kesenjangan antara perusahaan besar dan kecil serta menengah. Serta, meningkatkan kesulitan bagi pekerja dengan keterampilan rendah untuk mendapatkan pekerjaan,” bebernya.

Sri merasa perlu untuk memastikan penggunaan kecerdasan buatan tidak menciptakan hambatan bagi pekerja yang memiliki keterampilan rendah dalam mencari pekerjaan.

"Penerapan teknologi ini sejalan dengan upaya menjaga keseimbangan antara produktivitas yang tinggi dengan perhatian terhadap kesejahteraan tenaga kerja serta kebijakan modal,” tambahnya.

Dosen FEB itu juga mengatakan, pemerintah harus memperhatikan tantangan pasar yang timbul akibat adopsi kecerdasan buatan dan jangan sampai kecolongan agar tidak muncul kepanikan saat tantangan tersebut sudah berada di depan mata.

Selain itu, Sri juga ingin pemerintah mesti segera mengambil langkah-langkah untuk mengawasi serta mengatur penggunaan AI yang belum sepenuhnya diatur dalam hukum.

“Pemerintah juga perlu memberikan pelatihan dan pengembangan keterampilan kepada tenaga kerja untuk mempersiapkan mereka menghadapi perubahan dalam pasar kerja yang disebabkan oleh kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan,” tutupnya. (*)

Editor: Rizqi Ardian 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow