Menebak Arah Kebijakan Menteri Pendidikan

Saat ini, 3,3 juta guru dan 53,1 juta murid hanya bisa berharap-harap cemas, apakah menteri yang baru bisa menjawab semua tantangan dan kritikan yang ada. Di satu sisi ada semangat perubahan, namun di sisi lain, tak dapat dipungkiri ada geliat untuk keberlanjutan.

23 Oct 2024 - 15:00
Menebak Arah Kebijakan Menteri Pendidikan

"Sekali lagi saya masih akan banyak mendengar dalam waktu-waktu satu bulan ini. Sebelum mengambil keputusan yang strategis yang berkaitan dengan pendidikan nasional, khususnya pendidikan dasar dan menengah." (Kanal Youtube CNN Indonesia, 22/10/2024).

Begitulah jawaban Abdul Mu'ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) pilihan Presiden Prabowo Subianto saat diwawancarai jurnalis usai pelantikan.

Tak salah memang jika Abdul Mu'ti berkata demikian. Sebagai menteri dalam kabinet baru, pihaknya perlu berhati-hati dalam menelurkan kebijakan. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Bukan hanya urusan teknis hingga landasan akademis, tapi perubahan kebijakan akan berimplikasi pada pembiayaan keuangan negara, pendayagunaan sumber daya manusia, hingga dampak sosial di masyarakat.

Tak heran dalam sejumlah kesempatan door stop, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan bahwa dia masih akan mengkaji hal-hal tersebut dan berdiskusi dengan banyak pihak.

Zonasi yang Tak Presisi

Kendati jawaban Abdul Mu'ti masih normatif, namun ada sejumlah isu yang tampaknya terus didorong dan menguat di berbagai media.

Di antaranya soal zonasi. Kebijakan yang dicetuskan Mendikbud (2016-2019) Muhadjir Effendy tahun 2016 ini banyak menuai kritik. Terutama terkait lika-liku penerapannya.

Awalnya, sistem zonasi sekolah ini diterapkan untuk pemerataan. Diharapkan tidak ada lagi sekolah favorit. Murid akan bersekolah di sekolah yang dekat dengan rumahnya masing-masing. Sehingga dengan input yang merata dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), sekolah bisa bersaing sehat dengan sekolah lainnya. 

Namun faktanya tak demikian. Banyak 'kecurangan atau main mata' yang dilakukan. Baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi.

Dengan dalih mencari sekolah dengan fasilitas yang bagus, orang tua wali rela 'membeli' tempat tinggal yang dekat dengan sekolah. Bisa secara harfiah berarti membeli rumah/kontrakan atau dalam hal ini mengakali celah sistem dengan mengganti kartu keluarga (KK) atau menitipkan sang anak di KK kerabat atau kenalannya. 

Kasus 'menumpang KK' ini ibaratnya sudah menjadi rahasia umum. Ada kesan justru dibiarkan. Bahkan secara eksplisit, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi misalnya, memperbolehkan pergantian KK ini meski dengan batasan, yakni minimal harus sudah setahun (detik.com, 20/07/2023).

Problematika di daerah makin kompleks karena sekolah juga dihadapkan dengan hal teknis lainnya. Seperti cara penentuan jarak rumah ke sekolah hingga masalah persentase jalur zonasi itu sendiri yang memicu kontroversi.

Belum lagi jika dikaitkan dengan masalah pemerataan, jumlah sekolah belumlah merata.

Jika menilik data di laman dapodik Kemendikbudristek, jumlah sekolah di Indonesia saat ini mencapai 439

.784 sekolah. Jumlah tersebut terbagi dalam 148.882 unit sekolah dasar (SD), 42.603 unit sekolah menengah pertama (SMP), 14.457 unit sekolah menengah atas (SMA). Serta, sebanyak 14.253 unit sekolah menengah kejuruan (SMK).

Masalahnya, sebaran sekolah berbagai jenjang ini tak merata. Sekitar 43,9 persen masih berada di Pulau Jawa.

Jika dibedah lagi, bahkan sekolah-sekolah yang ada di Pulau Jawa itu pun banyak yang tersentralisasi di pusat kota bahkan satu kecamatan saja.

Hal ini mengingat kebijakan pembangunan di masa lalu yang masih memisahkan mana zona industri, perumahan, juga sekolah. 

Kondisi ini berdampak pada murid yang tinggal di wilayah yang jauh dari sekolah. Mereka jelas dirugikan. Mereka akan kalah saing di jalur zonasi jika dihitung berdasarkan jarak rumahnya ke sekolah.

Pertanyaannya selalu ke mana murid-murid ini akan melanjutkan? Kalau jawabannya ke swasta, ada masalah soal biaya. Rata-rata sekolah swasta menelan biaya yang lebih mahal. Kalau jawabannya ke SMK negeri yang persentase jalur zonasinya lebih sedikit, persaingan pun juga sangat ketat.

Apa Mungkin Berubah?

Jika pertanyaannya mungkin atau tidak? Jawabannya masih 50:50. Namun mengingat kebijakan zonasi ini dicetuskan Muhadjir Effendy yang notabene punya latar belakang organisasi yang sama dengan Abdul Mu'ti, yakni sama-sama berasal dari PP Muhammadiyah, maka sulit kiranya kebijakan ini bakal berganti.

Justru yang paling mungkin diubah adalah soal Kurikulum Merdeka (Kurmer). Meski baru saja resmi berjalan berdasar Permendikbudristek Nomor 12/2024, namun kurikulum yang dicanangkan Nadiem Makarim dengan konsep mercusuarnya yakni Merdeka Belajar ini juga menuai banyak kritikan dan pandangan miring dalam penerapannya yang masih seumur jagung.

Masalahnya, Mas Menteri, sapaan Nadiem, yang tak punya background kuat dalam organisasi tertentu, tidak memiliki struktur mengakar untuk mempertahankan ide besarnya ini.

Menunggu atau Bersuara?

Saat ini, 3,3 juta guru dan 53,1 juta murid hanya bisa berharap-harap cemas, apakah menteri yang baru bisa menjawab semua tantangan dan kritikan yang ada. Di satu sisi ada semangat perubahan, namun di sisi lain, tak dapat dipungkiri ada geliat untuk keberlanjutan.

Mana yang lebih kuat, tentu bergantung pada dari siapa dan dengan cara apa Mendikdasmen Abdul Mu'ti akan mendengar.

Akankah kita ikut bersuara dan memberi masukan? Ingat, waktunya mepet. Cuma satu bulan.

*) Devy M. Ystykomah adalah guru SMP yang juga aktif sebagai Wakil Ketua Umum Komunitas Guru Belajar Nusantara.

Disclaimer: Segala isi di rubrik OPINI, baik berupa teks, foto, maupun gambar merupakan pendapat pribadi penulis dan segala konsekuensi bukan menjadi tanggung jawab redaksi.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow