Evaluasi Banjir Dubai, Guru Besar ITS Sebut Sebagai Peringatan Atas Isu Perubahan Iklim
Meski muncul berbagai dugaan penyebab banjir yang terjadi di Dubai, Profesor Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof Ir Eddy Setiadi Soedjono DiplSE MSc PhD, menilai faktor yang paling mungkin menjadi penyebab banjir besar ini memanglah isu perubahan iklim.
Surabaya, SJP - Pada 16 April 2024 lalu terjadi bencana banjir besar yang melanda Dubai serta sejumlah negara lain seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Oman yang sempat menarik perhatian dunia dan videonya viral di berbagai platform sosial media.
Beberapa pakar dan pemberitaan menjelaskan bahwa curah hujan ekstrim menjadi pemicu utama, namun juga ada faktor lain yang dirasa menjadi penyebab tingginya genangan banjir di negara super maju itu, yakni lemahnya sistem dan infrastruktur drainase negara tersebut.
Profesor Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof Ir Eddy Setiadi Soedjono DiplSE MSc PhD, menilai fenomena tersebut sangat jarang terjadi, terutama di area gurun gersang seperti Negara Dubai yang juga statusnya negara maju.
"Masih perlu diperiksa apakah ini permasalahan engineering, tata kelola, atau campuran ulah perubahan iklim,” ungkap Eddy, Senin (6/5).
Eddy mengungkapkan bahwa faktor yang paling mungkin menjadi penyebab banjir besar ini memanglah isu perubahan iklim, sedangkan dalam hal tata pengelolaan drainase permukiman ada yang disebut dengan banjir dua tahunan, sepuluh tahunan, bahkan seratus tahunan.
“Data hujan yang selama ini sampai hujan 50 tahunan bisa datang dua kali lebih cepat dari biasanya karena perubahan iklim,” ujarnya.
Data Badan Pusat Meteorologi UEA juga menunjukkan bahwa curah hujan berada di titik tertinggi sejak pencatatan 75 tahun yakni mencapai 254,8 milimeter ketika banjir terjadi.
Bahkan Bandara Internasional Dubai menyebutkan curah hujan sebanyak 100 milimeter membasahi Dubai selama 12 jam yang mana ini menyamai curah hujan tahunan Dubai yang berkisar 140-200 milimeter per tahun.
Data tersebut menunjukkan bahwa negara modern yang telah mengadopsi berbagai teknologi canggih tetap bisa tunduk pada krisis iklim, menjadi tambahan bukti bahwa isu perubahan iklim dan peristiwa alam yang terjadi di belakangnya sudah menjadi sebuah keniscayaan.
“Sama seperti kondisi gelombang panas yang melanda Thailand, intinya perubahan iklim ini memang nyata adanya,” beber Eddy.
Di samping itu adapun dugaan lain menyebutkan bahwa aktivitas penyemaian awan untuk memanipulasi hujan adalah faktor lain penyebab banjir, namun pernyataan ini ditangkis sebab tidak ada aktivitas penyemaian awan sebelum banjir terjadi.
Beranjak dari beragam dugaan penyebab banjir di Dubai, Kepala Laboratorium Teknologi Pengolahan Air Teknik Lingkungan ITS itu menyimpulkan bahwa hujan ekstrem akibat perubahan iklim adalah satu alasan yang paling bisa diterima.
“Temperatur yang naik dan prediksi beberapa badan pulau akan menghilang dari peta bumi ini sudah ada di depan mata,” lanjutnya.
Eddy berharap Indonesia bahkan dunia semakin meningkatkan kesadarannya akan isu perubahan iklim ini, salah satunya dengan mengefisienkan aset yang dimiliki untuk mengurangi angka nyawa yang hilang karena ketidaksiapan dalam menghadapi bencana.
“Selain itu juga dibutuhkan insan-insan yang kaya akan aksi nyata dalam menghadapi perubahan iklim beberapa tahun ke depan,” tutupnya. (*)
Editor: Rizqi Ardian
What's Your Reaction?