Di Lintasan Cincin Api, Edukasi Mitigasi Bencana Perlu Digalakkan
Pakar Bidang Mitigasi Bencana dan Eksplorasi Sumber Daya Alam khususnya Kegunungan dan Panas Bumi Universitas Brawijaya, Prof Sukir Maryanto katakan daerah yang relatif sudah baik kesadarannya terhadap bencana adalah warga di lereng Gunung Semeru. karena sosialisasi yang dilakukan mahasiswa berlangsung intensif, bahkan menyasar ke anak-anak.
MALANG, SJP — Edukasi mitigasi bencana perlu digalakkan di sekolah mulai dari TK-PT untuk jadi budaya sadar bencana karena posisi Indonesia yang berada di kawasan rings of fire atau cincin api.
Pakar Bidang Mitigasi Bencana dan Eksplorasi Sumber Daya Alam khususnya Kegunungan dan Panas Bumi Universitas Brawijaya, Prof Sukir Maryanto, katakan daerah yang relatif sudah baik kesadarannya terhadap bencana, warga di lereng Gunung Semeru.
“Masyarakat di lereng Gunung Semeru sudah teredukasi terkait mitigasi bencana, terutama terkait bencana vulkanik karena sosialisasi yang dilakukan mahasiswa berlangsung intensif, bahkan menyasar ke anak-anak,” katanya, Ahad (26/11/2023).
Mitigasi bencana dalam bentuk edukasi, dia meyakinkan, mutlak diberikan kepada masyarakat.
Hal itu terjadi karena posisi Indonesia sebagai daerah yang dilintasi rings of fire.
Daerah dengan posisi geografis seperti itu, di satu sisi perlu disyukuri karena ada beberapa keuntungan, namun di pihak lain juga perlu diwaspadai sehingga perlu ada mitigasi.
Edukasi mitigasi bencana, kata dia perlu diberikan sejak TK.
Dengan begitu, masalah mitigasi bencana tidak hanya berupa pengetahuan, tapi sudah jadi kesadaran budaya masyarakat.
Di Jepang, dengan tingkat edukasi mitigasi bencana yang tinggi, maka dampak dari bencana tidak terlalu fatal.
Seperti tsunami di Jepang, hanya memakan korban 2.000 orang meninggal, namun di Aceh sekitar 200.000 orang meninggal.
“Bencana vulkanik di Semeru pada 2022, tidak ada korban meninggal karena respon masyarakat terhadap bencana sudah sangat baik,” ujarnya.
Pendidikan mitigasi bencana bagi masyarakat, kata dia, dilakukan di sekolah-sekolah di daerah yang pintu masuknya lewat muatan lokal.
Pemberian edukasi kebencanaan melalui dua tahap, materi umum kebencanaan, dan potensi bencana lokal seperti bencana vulkanik pada warga sekitar Semeru serta banjir untuk warga Jakarta.
Prof Sukir menjelaskan hidup berdampingan dengan gunung berapi perlu adanya kesadaran dari dalam diri masyarakat maupun semua stakeholder terkait kebencanaan.
Kesadaran kebencanaan secara berangsur harus diubah menjadi budaya sadar bencana pada segenap lapisan masyarakat dan lintas sektoral dan lintas.
Untuk ubah kesadaran diri menjadi suatu budaya terhadap kebencanaan dibutuhkan usaha yang sangat besar, hal ini bisa dilakukan dalam bentuk school watching dan town watching.
"School watching kan lingkupnya di sekolah kalau town watching kan lingkup nya di kota atau desa mereka sendiri,” ujarnya.
Maksudnya, Guru Besar bidang Ilmu Vulkanologi dan Geothermal Universitas Brawijaya (UB), masyarakatlah yang bisa mengamati potensi bahaya. Ahli bencana pada saat terjadi bencana tidak berada di tempat tersebut.
Oleh karena itu, masyarakatlah yang paham, masyarakat yang bisa, masyarakat yang tahu karakternya yang bisa mengevakuasi dirinya sendiri ketika ada bencana karena mereka yang menghadapinya sendiri.
Dia menegaskan kembali, pengetahuan tentang mitigasi bencana seharusnya menjadi program pemerintah.
Kalau perlu bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dengan strategi, jika belum bisa dinasionalkan, bisa dimulai dari kurikulum lokal, muatan lokal dengan kerja sama pada daerah-daerah yang bersedia sebagai perintis.
Prof. Sukir katakan, Jawa Timur dan Indonesia pada umumnya, potensi panas bumi sekitar 80% merupakan panas bumi yang berasosiasi dengan gunung api sehingga perlu dibukukan semua potensi yang ada, agar keberlanjutan dan kebermanfaatan bidang ini.
Keberadaan gunung api, menurut dia, memberikan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat sekitar, baik dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak positifnya antara lain sebagai sumber kehidupan, gunung, sungai, ekologi, dan mata air; penyedia potensi panas bumi, sumber penyedia unsur-unsur mineral dan hara dalam menyuburkan tanah dan sumber tambang serta sebagai sumber penun ekonomi masyarakat, pariwisata, pertanian,UMKM, dan lainnya,
Meskipun banyak dampak positifnya, kata dia, namun perlu juga diperhatikan dampak negatifnya, sehingga keberadaan kedua potensi tersebut harus disikapi secara bijak.
Hal ini memberikan tantangan sendiri karena belum optimalnya pengelolaan potensi sektoral di kawasan kaki gunung api serta belum masifnya terkait monitoring kebencanaan kawasan gunung api.
“Jadi diperlukan kebijakan yang seimbang dalam segala aspek terkait dengan pengelolaan dan pengembangan kawasan gunung api,” ucapnya. (*)
editor: Choirul Anam
What's Your Reaction?