Ancaman Monopoli Tarif dalam RUU Pelayaran, DPW ALFI/ILFA Jatim dan Asosiasi Lainnya Serukan Penolakan

ALFI/ILFA dan berbagai asosiasi kepelabuhanan menolak rencana akan di hapusnya pasal 110 Ayat 1 dan Ayat (5) pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

24 Aug 2024 - 17:30
Ancaman Monopoli Tarif dalam RUU Pelayaran, DPW ALFI/ILFA Jatim dan Asosiasi Lainnya Serukan Penolakan
Kompak: 5 asosiasi kepelabuhanan Jatim menolak RUU Pelayaran (Ryan/SJP)

Surabaya, SJP - Rencana pemerintah untuk menghapus ketentuan Pasal 110 Ayat (1) dan (5) pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai asosiasi kepelabuhanan di Jawa Timur.

Salah satunya Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) / Indonesian Logistics & Forwarders Association (ILFA) Jawa Timur yang menilai kebijakan ini dapat berdampak pada kenaikan tarif logistik yang tidak terkendali dan mengancam daya saing produk Indonesia di pasar global.

Tidak sendiri, ALFI/ILFA Jatim bersama dengan GINSI Jatim (Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia), GPEI Jatim (Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia), APBMI Jatim (Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia) INSA Jatim (Indonesian National Shipowners' Association) kompak menyatakan penolakan atas rancangan RUU tersebut.

Ketua DPW Jatim ALFI/ILFA Sebastian Wibisono, mengungkapkan bahwa sikap ini serupa dengan sikap yang juga diambil sebelumnya oleh Pengurus pusat ALFI/ILFA pada beberapa waktu yang lalu.

Wibisono atau yang akrab disapa Wibi menilai bahwa penghapusan pasal ini akan memberikan otoritas pelabuhan selaku wakil pemerintah kewenangan penuh untuk menentukan tarif tanpa perlu berkonsultasi, menurutnya langkah ini berisiko menimbulkan praktik monopoli dalam penetapan tarif.

"Tentunya kami sebagai DPW Jawa Timur juga ingin membantu dan mendorong merapatkan barisan dengan keputusan DPP untuk membantu menghindari hal yang sangat negatif, dimana Indonesia sekarang sedang menuju ke perubahan 2045," ujar Wibi, Sabtu (24/8).

"Sedangkan RUU ini akan membuat kembali mundur, dimana kita ingin menurunkan biaya logistik, akan tetapi mau di monopoli," imbuhnya. 

Wibi menuturkan bahwasanya terminal operator itu memerlukan pengawasan dan pengontrolan, tidak hanya untuk perihal tarif tetapi juga sebagai kontrol stabilitas kegiatan-kegiatan operasional oleh asosiasi sebagai wakil dari pengguna jasa.

"Ini ditujukan agar tidak timbul permasalahan di kemudian hari, karena dengan adanya kontrol, cost dan stabilitas bisa ditingkatkan," terang Wibi.

"Sehingga kita berharap Menteri Perhubungan bisa sensitif terhadap permasalahan dalam RUU ini, semiga kedepannya upaya ini berjalan dengan baik," sambungnya.

Wibi juga menyampaikan bahwa ALFI ILFA Jatim mendukung Usulan DPR RI bahwa untuk melibatkan asosiasi dalam penentuan tarif-tarif jasa kepetabuhanan.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa keterlibatan asosiasi seperti ALFI/ILFA dan lainnya tidak hanya penting dalam pengendalian tarif, tetapi juga dalam memastikan kualitas pelayanan di pelabuhan tetap terjaga.

"Termasuk organisasi usaha Jasa kepelabuhan, GINSI, GPEI, INSA, ALFI/ILFA dan APBMI sebagai asosiasi yang paham benar batas-batas kemampuan anggotanya dalam memenuhi tarif jasa kepelabuhanan," urai Wibi.

"Jika tujuan kita adalah mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045, maka keterlibatan asosiasi sebagai representasi pengguna jasa harus tetap ada. Tanpa itu, kita justru akan bergerak mundur," tegasnya.

Dengan demikian, Wibi menyoroti bahwa praktik yang melibatkan Tri Partit di pelabuhan yang sudah berlangsung selama ini sudah sesuai, karena melibatkan pihak pemerintah diwakili Kantor Syahbandar dan Otoritas yang mengabsahkan, pihak operator terminal sebagai pembuat draft tarif-tarif jasa kepelabuhanan dan asosiasi-asosiasi. 

"Jika peran asosiasi dihapuskan, maka tarif-tarif tersebut akan ditentukan secara sepihak oleh operator terminal. Ini berpotensi besar hanya menguntungkan satu pihak saja dan membuat para pelaku usaha kesulitan," tandasnya.

Sebagai wujud komitmen para asosiasi kepelabuhanan, pada Jumat (23/8) kemarin, kelima ketua Asosiasi lingkup kepelabuhanan tersebut telah menyatakan sikap bersama dengan ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto.

Sejalan dengan ALFI, pada kesempatan itu Ketua Umum Kadin Jatim mengungkapkan bahwa rencana ini bertentangan dengan upaya pemerintah untuk menurunkan cost logistik, baginya kolaborasi perlu tetap dipertahankan untuk memastikan tarif yang berlaku adil dan tidak merugikan pelaku usaha.

"Kami berharap pemerintah lebih sensitif terhadap isu ini, surat resmi akan kami kirimkan ke Presiden Joko Widodo minggu depan untuk menegaskan posisi kami," ucap Adik.

"Kami percaya beliau akan memahami pentingnya menjaga stabilitas biaya logistik, mengingat latar belakangnya sebagai mantan pelaku ekspor," pungkasnya.

Penolakan terhadap perubahan ini menunjukkan betapa pentingnya peran asosiasi dalam menjaga keseimbangan dalam industri kepelabuhanan, tanpa kontrol yang tepat, kenaikan biaya logistik berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan merusak daya saing produk Indonesia di kancah global. (*)

Editor: Rizqi Ardian 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow