22 Desember, Mengungkap Jejak Sejarah Hari Ibu dan Emansipasi Perempuan di Indonesia
Setiap tahun pada tanggal 22 Desember, Indonesia memperingati Hari Ibu Nasional sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan, khususnya peran vital mereka sebagai ibu
Suarajatimpost.com - Setiap tahun pada tanggal 22 Desember, Indonesia memperingati Hari Ibu Nasional sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan, khususnya peran vital mereka sebagai ibu. Peringatan ini tidak hanya merayakan peran keluarga, tetapi juga menandai lahirnya gerakan perempuan di tanah air yang muncul dari semangat perjuangan nasional.
Di tengah sejarah, perjuangan ini tidak terlepas dari keterbatasan yang dialami oleh perempuan pada masa pemerintahan kolonial. Pemerintah saat itu membatasi kebebasan berekspresi, terutama bagi wanita, yang menjadi pendorong bagi mereka untuk bangkit dan memperjuangkan hak-hak mereka. Semangat nasionalisme yang mengemuka, khususnya setelah Sumpah Pemuda 1928, semakin memotivasi perempuan Indonesia untuk menuntut kesetaraan.
Artikel ini mengajak pembaca untuk menggali lebih dalam mengenai perjuangan perempuan melalui Kongres Perempuan dan bagaimana 22 Desember menjadi Hari Ibu yang kita kenal saat ini.
Latar Belakang Kongres Perempuan 1928
Kongres Perempuan yang berlangsung pada tahun 1928 adalah respons terhadap situasi sulit yang dihadapi perempuan di Hindia Belanda. Dalam masyarakat yang patriarkis, perempuan sering kali mengalami diskriminasi, dengan akses pendidikan dan kesempatan sosial yang sangat terbatas. Selain itu, praktik seperti kawin paksa dan poligami memperparah keadaan mereka.
Tokoh-tokoh seperti RA Kartini, Dewi Sartika, dan Maria Walanda Maramis menjadi pelopor emansipasi perempuan. Gerakan ini fokus pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan keluarga, dengan menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan bagi perempuan.
Perubahan Gerakan Perempuan
Sejak tahun 1920-an, organisasi-organisasi perempuan mulai bertransformasi menjadi gerakan nasional yang lebih terstruktur. Berbagai perkumpulan, seperti Sarekat Perempuan Islam Indonesia, Aisyiyah, dan Wanito Utomo, berkolaborasi untuk membentuk organisasi yang lebih kuat dan berorientasi politik.
Terbentuknya Kongres Perempuan
Kongres Pemuda 1928 dan meningkatnya rasa nasionalisme mendorong organisasi-organisasi perempuan untuk bersatu. Tujuh organisasi utama menginisiasi kongres ini, termasuk Wanita Taman Siswa dan Aisyiyah, di Yogyakarta. Kongres pertama yang berlangsung dari 22 hingga 25 Desember 1928 menghasilkan pembentukan Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI) serta pendirian dana pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu.
Kongres kedua di Jakarta pada 20-24 Juli 1935 membahas isu-isu penting seperti pembentukan Badan Perburuhan Perempuan dan pemberantasan buta huruf. Kongres ketiga pada 23-17 Juli 1938 di Bandung menetapkan RUU Perkawinan dan mengusulkan 22 Desember sebagai Hari Ibu. Kongres terakhir pada 25-28 Juli 1941 di Semarang menghasilkan rekomendasi untuk memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum pendidikan.
Penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu
Usulan untuk menjadikan 22 Desember sebagai Hari Ibu dibahas dalam Kongres Perempuan III dan kemudian diterima oleh Presiden Soekarno. Melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959, tanggal tersebut resmi ditetapkan sebagai Hari Ibu, sebagai pengakuan atas kontribusi perempuan dalam membangun bangsa.
Melalui peringatan ini, kita diajak untuk menghargai bukan hanya peran ibu dalam keluarga, tetapi juga perjuangan panjang perempuan Indonesia untuk mendapatkan kesetaraan dan pengakuan di masyarakat. (**)
Sumber : Berbagai Sumber
Editor : Rizqi Ardian
What's Your Reaction?