Karena Gaji Minim, Rumah Tangga Hakim di Indonesia Kerap Bermasalah
Bagaimana kami bisa menjalankan peran sebagai pengadil dalam urusan keluarga, jika keluarga kami sendiri tidak sejahtera?
SURABAYA, SJP - Para hakim pengadilan di seluruh Indonesia sedang menggelar aksi cuti bersama. Aksi itu sebagai bentuk, protes karena tidak ada kenaikan gaji selama 12 tahun terakhir.
Aksi itu dilakukan mulai tanggal 7 hingga 11 Oktober 2024. Cuti serentak itu diprakarsai oleh Solidaritas Hakim Indonesia (SHI). Sebelumnya, SHI menyodorkan draf revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim ke Mahkamah Agung (MA).
Namun demikian, bagian Hubungan Masyarakat (Humas) II Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Nur Khasan menolak bila aksi tersebut dianggap sebagai tindakan mogok kerja. Sebab cuti merupakan hak setiap pegawai.
"Yang perlu saya luruskan, bukan mogok kerja ya. Jadi kalau di kami, IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia, red) itu menempuh cara dengan cuti bersama. Jadi jangan lagi menyebut mogok kerja, karena cuti itu hak," jelasnya, Kamis (10/10/2024).
Khasan mengatakan, para hakim yang masih memiliki hak cuti memutuskan untuk mengambil cuti serentak. Namun, hakim yang sudah memiliki jadwal sidang tetap melaksanakan tugasnya. Hal itu untuk memastikan pelayanan masyarakat tetap berjalan sebagaimana mestinya.
"Bagi yang sudah habis cutinya, tidak boleh cuti bersama karena haknya sudah habis. Tapi bagi yang masih ada, ya mengambil cuti bersama. Itu pun harus disesuaikan dengan jadwal sidang yang sudah terlanjur ditetapkan," imbuhnya.
Diakui Khasan, isu kesejahteraan hakim menjadi salah satu pokok permasalahan yang melatarbelakangi aksi cuti bersama itu. Sebab realitanya, yang dialami para hakim di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera.
Belum sejateranya para hakim menjadi salah satu kendala utama yang dihadapi. Ditambah lagi seringnya terjadi rotasi penugasan hakim ke berbagai daerah. Sehingga membuat para hakim harus hidup terpisah dari keluarganya.
"Hakim, khususnya di badan peradilan, itu beda dengan pegawai yang lain. Kalau pegawai yang lain, kelahiran Surabaya mulai dari diangkat sampai pensiun kadang tetap di Surabaya, atau jauh-jauhnya pindah ke sekitar wilayah Jawa Timur," keluh Khasan.
"Sedangkan hakim, seperti saya sendiri, sudah bertugas di banyak tempat. Di Nusa Tenggara Timur 14 tahun, di Blitar 4 tahun, di Medan 4 tahun, di Lamongan 4 tahun, di Surabaya 4 tahun. Dan itu tidak bisa diikuti oleh anak istri, karena fasilitas rumah tidak ada," sambungnya.
Dia membeberkan, pada tahun 2018, memang sudah ada sumbangan dari pemerintah untuk tempat tingga. Namun, hanya untuk kamar dan bukan untuk kontrak rumah.
"Di Surabaya kontrak kamar itu rata-rata Rp 2 juta, dan itulah yang dibantu oleh negara. Jadi otomatis hanya kontrak satu kamar yang tidak memungkinkan untuk mengajak istri dan anak. Berarti kan tidak sejahtera," ucap Khasan.
Tantangan dalam kehidupan berkeluarga itulah yang menurutnya sering tidak dipahami oleh kebanyakan orang. Para hakim tidak bisa tinggal bersama istri dan anak setiap hari karena tugas di daerah yang berbeda. Bahkan, hubungan keluarga para hakim pun kerap tertimpa dampaknya.
"Kesejahteraan itu bukan hanya perihal uang, tapi juga kesejahteraan keluarga. Bagaimana kami bisa menjalankan peran sebagai pengadil dalam urusan keluarga, jika keluarga kami sendiri tidak sejahtera?" tegasnya.
Dengan pendapatan setara dengan pegawai negeri sipil (PNS) pada umumnya, ditambah dengan beban kerja yang cukup besar, Khasan merasa kesejahteraan hakim saat ini masih timpang.
“Gaji saya di tingkat 4D itu hanya sekitar 5 juta lebih. Belum sampai 6 juta. Itu untuk seorang hakim yang sudah lama bertugas. Bandingkan dengan hakim di negara lain, jauh sekali,” lanjut Khasan.
Kendati begitu, dia menggantungkan harapan besarnya kepada pemerintahan berikutnya yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto. Dia bersyukur ketika mendengar kabar aspirasi para hakim akan diwujudkan oleh presiden terpilih itu.
"Alhamdulillah, kami bersyukur jika rencana ini terlaksana. Semoga negara kita cukup untuk mewujudkan hal ini. Harapan kami, hakim, jaksa, dan semua elemen bangsa bisa makmur," ujarnya.
Meski begitu, dia menekankan, aksi cuti bersama bukan bentuk pemaksaan.
"Kami bukan mogok, tapi menyampaikan keinginan dengan cara yang elegan dan terukur. Jangan sampai salah paham. Hakim tetap melaksanakan tugasnya. Hanya saja, kami ingin agar kesejahteraan kami diperhatikan dengan lebih serius," tambahnya.
Nur Khasan berharap, aspirasi yang disuarakan oleh para hakim dapat segera ditindaklanjuti oleh pemerintah.
"Semoga keinginan para pemegang kebijakan sejalan dengan Ridho Allah dan dapat terealisasi. Kami ingin melihat Indonesia semakin jaya, rakyatnya makmur, dan seluruh aparatur negara, termasuk hakim, dapat hidup lebih sejahtera," tutupnya. (*)
Editor: Ali Wafa
What's Your Reaction?