Efek Buruk 'Serangan Fajar' Pemilu

Jual beli suara tampaknya menjadi praktik endemik di banyak negara demokrasi baru.

20 Jan 2024 - 09:45
Efek Buruk 'Serangan Fajar' Pemilu
Ilustrasi Stop politik uang dan hindari serangan fajar

PROBLEM pemilu di Indonesia yang sulit dihilangkan dan terkesan dianggap lumrah ialah politik uang. Praktik “membeli suara” ini tidak tedeng aling-aling, tapi dilakukan secara terang-terangan. Hanya saja, penanganan politik uang ini selalu terbentur bukti.

Dalam buku Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014 (PolGov: 2015) disebutkan, praktik pemberian uang atau barang atau sesuatu yang bernilai dari kandidat politik atau politisi kepada masyarakat pemilih disebut patronase.

Perbedaan antara pemberian barang-barang dan pembelian suara terkadang sulit dilakukan, kata Edward Aspinall dan Mada Sukmajati dalam buku tersebut.

Dalam praktiknya, sebagian besar kandidat secara tegas telah membedakan keduanya, sehingga “Mereka tidak menganggap bahwa pemberian barang adalah bagian dari politik uang,” tulis mereka.

Para kandidat politik umumnya memaknai pembelian suara sebagai praktik yang dilakukan secara sistematis, dengan melibatkan daftar pemilih rumit, dan dilakukan dengan tujuan memperoleh target suara lebih besar.

“Banyak hal yang menyebabkan larangan (politik uang) tersebut sulit untuk dipatuhi, termasuk karena larangan tersebut hanya diterapkan pada kandidat dan anggota tim kampanye yang terdaftar. Sementara, seringkali banyak anggota tim suskes yang tidak terdaftar mendistribusikan uang dan barang,” tutur Aspinall dan Sukmajati.

Pada kampanye Pemilu 2024, salah satu dugaan politik uang yang disorot yaitu bagi-bagi uang yang dilakukan Miftah Maulana Habiburrahman atau akrab disapa Gus Miftah, Pimpinan Pondok Pesantren Ora Aji Yogyakarta.

Sebuah rekaman video yang menampilkan Gus Miftah sedang berbagi uang di Pamekasan, Madura, Jawa Timur menjadi viral di media sosial. Dalam potongan video yang diperbincangkan di media sosial X (dulu Twitter) pada akhir Desember 2023, Gus Miftah membagikan uang segepok dan seseorang di belakangnya menunjukkan kaos bergambar Prabowo Subianto.

Gus Miftah membantah bahwa dirinya berbagi-bagi uang terkait dengan pasangan calon tertentu. Ia mengatakan diundang oleh Haji Her, pengusaha tembakau setempat. Kebetulan saat itu Haji Her, menurutnya, sedang bagi-bagi uang dan dirinya diminta untuk membagikannya kepada warga.

Namun, Bawaslu Kabupaten Pamekasan pada Senin (15 Januari 2024) menghentikan penanganan terhadap kasus tersebut karena tidak ditemukan adanya pelanggaran pemilu. 

"Diputuskan bahwa perkara ini tidak memenuhi unsur Pasal 523 ayat 1 UU Pemilu sebab yang bersangkutan bukan merupakan tim kampanye paslon manapun termasuk GM dan KH si pemilik tempat," kata Ketua Bawaslu Sukma Umbara Firdaus.

Rasa sungkan

Dalam studinya, Burhanuddin Muhtadi menunjukkan bagaimana “wajah asli” demokrasi elektoral Indonesia yang dikorupsi oleh praktik jual beli suara. Fenomena ini tak hanya di pemilu nasional, tapi juga pemilihan kepala daerah.

Menurut dia, banyak operator politik melegitimasi politik uang sebagai strategi paling efektif dan penargetan loyalis partai “Sebagai tindakan pemberian hadiah (gift giving), bahkan kewajiban moral.”

Banyak kandidat dan tim sukses yang disurvei, kata Burhanuddin, menginterpretasikan pemberian uang tunai atau bantuan kecil kepada pemilih sebagai "ritual pertukaran hadiah" dan bukan sebagai tindakan jual beli suara secara terang-terangan. 

“Maka, para penerima tidak keberatan dengan tukar-menukar suara, karena hal tersebut tidak dilihat sebagai bentuk suap terhadap suara mereka,” tulisnya.

Menurut dia, membingkai praktik jual beli suara dalam konteks norma sosial timbal balik akan “menghasilkan perasaan tidak enak dari pihak penerima jika tidak membalas pemberian tersebut dengan dukungan suara kepada pihak yang memberi.”

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khairunnisa Nur Agustyati, meski dalam Undang-Undang Pemilu telah mengatur sanksi pidana politik uang, “Tapi pembuktiannya susah dan biasanya tidak terpenuhi unsur-unsurnya," ujarnya.

Ia mencontohkan, bagi-bagi uang tidak dianggap politik uang ketika kandidat tidak menyampaikan visi-misi sehingga tidak bisa ditindaklanjuti. Tantangan lainnya, publik juga enggan melaporkan kejadian politik uang karena takut diintimidasi. 

Itulah gambaran efek buruk politik uang bagi elektoral di Indonesia. Jika praktik buruk itu terus-menerus dilakukan, generasi mendatang akan memandang berbagi uang atau barang sebagai cara mencari suara menjadi hal lumrah, padahal jelas-jelas ini melanggar pidana.

Hukuman pidana

Politik uang dalam elektoral Indonesia sering disebut “serangan fajar”. Para kandidat atau tim sukses yang melakukan politik uang diancam hukuman pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Disebutkan pada Pasal 523 ayat 1, 2, dan 3 bahwa sanksi pidana diberikan kepada setiap orang, peserta, pelaksana, maupun tim kampanye yang memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan pada pemilih, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Berikut ini sanksi pidana terkait serangan fajar jika diberikan pada:
•    Masa kampanye : penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
•    Masa tenang : penjara maksimal empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.
•    Hari pemungutan suara:  penjara tiga tahun dan pidana paling banyak Rp 36 juta.

Diskualifikasi

Tidak berhenti hanya pada pidana penjara dan denda, undang-undang juga menjelaskan aturan diskualifikasi bagi para peserta pemilu yang terbukti melakukan serangan fajar. Aturan ini tercantum pada Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 286.

Aturan diskualifikasi tercantum dalam Pasal 285 huruf (a) dan huruf (b), juga Pasal 286 ayat 2. Ketika pelanggaran mengenai pemberian materi ini dilanggar dan telah terdapat keputusan hukum tetap dalam pengadilan, calon maupun pasangan calon dapat dihapus dari daftar nama peserta pemilu.

Efek kesehatan mental

Seseorang yang mencalonkan diri menjadi calon presiden, calon anggota legislatif, atau calon kepala daerah artinya dirinya sadar diri bahwa butuh dana operasional yang besar.

Tingginya biaya politik itu pulalah yang memiliki relevansi dengan kejadian korupsi di kemudian hari. Mereka yang melakukan politik uang cenderung akan mencari cara untuk mengembalikan modal politik ketika sudah terpilih.

Tak sedikit fenomena para caleg atau calon kepala daerah yang mengalami tekanan jiwa saat tidak terpilih. Selain uang habis, tak sedikit mereka yang terganggu jiwanya karena bingung mengembalikan uang pinjaman.

Sejumlah rumah sakit di berbagai daerah telah mempersiapkan diri menyambut para caleg gagal yang membutuhkan konseling. Salah satunya, RSUD Kudus, Jawa Tengah yang menyiapkan layanan konsultasi psikolog bagi caleg usai Pemilu 2024 berakhir.

Sobat SJP harus ikut mengawasi segala praktik politik uang selama kampanye pemilu saat ini. Saatnya generasi-generasi muda Indonesia berani mengungkap praktik-praktik tidak berintegritas tersebut. Majelis Ulama Indonesa juga telah menyatakan politik uang adalah praktik haram.

Para kandidat politik harusnya memberikan contoh baik dalam berpolitik. Ciptakanlah politik cerdas berintegritas. Jangan ragu mengampanyekan “Hajar Serangan Fajar”. (**)

Editor : Rizqi Ardian
Sumber : Pusat Edukasi Antikorupsi dan Buku Kuasa Uang, Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru karya Burhanuddin Muhtadi

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow