Suara Hati Warga Eks Lokalisasi Semampir, Kediri: Kami Menderita!

Kini, kehidupan layak yang dijanjikan pemerintah hanya menjadi mimpi buruk bagi mereka. Pelatihan tanpa adanya pendampingan, bantuan modal dan pemasaran, menurut warga hanya sia-sia.

20 Oct 2024 - 19:31
Suara Hati Warga Eks Lokalisasi Semampir, Kediri: Kami Menderita!
Cerita Hati Warga Eks Lokalisasi Semampir Kota Kediri (Youtube saroja/sjp)

KOTA KEDIRI, SJP – Setelah 9 tahun berlalu, sejak Pemerintah Kota (Pemkot) Kediri menggusur kawasan eks lokalisasi Semampir, hidup masyarakat di RW 5 belum juga pulih. Alih-alih keluar dari masa kelam, kehidupan mereka semakin menderita.

Nur Yanto, dan ratusan kepala keluarga (KK) di kawasan tersebut masih harus terus berjuang, setelah pemerintah merampas hidup mereka pada akhir 2016 lalu.

Tidak semua warga di sana menjajakan diri atau terlibat langsung dalam bisnis prostitusi itu. Mereka yang berjualan, membuka warung kopi atau sekadar menjadi juru parkir, menerima dampak dari kebijakan tersebut.

Kini, kehidupan layak yang dijanjikan pemerintah hanya menjadi mimpi buruk bagi mereka. Pelatihan tanpa adanya pendampingan, bantuan modal dan pemasaran, menurut warga hanya sia-sia.

“Saya mohon dengan sangat kepada pemerintah, kepada wakil rakyat semoga ada perhatian terutama untuk masyarakat Semampir di RW 5 RT 31,” pinta Nur Yanto, dalam acara diskusi Mata Saroja, episode Suara Hati Warga eks Lokalisasi Semampir, yang tayang di YouTube, pada Jumat (18/10/2024).

Hadir dalam diskusi itu, anggota DPRD Kota Kediri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ayub Wahyu Hidayatullah.

Kepada Ayub, Nur Yanto melanjutkan, saat ini dia bersama keluarganya sedang tertatih untuk mencari penghidupan yang layak. Termasuk warga di sana, yang masih kesulitan untuk sekadar mencari makan.

“Rumah digusur, saya terima duit semua Rp7,5 juta, terima 2016. Saya buat kontrak (rumah), nyambung umur, dua bulan sudah habis,” keluhnya.

Nur Yanto pun tak menampik, masih ada warga yang kembali menjadi wanita penghibur. Mereka rela bekerja hingga dini hari demi bertahan hidup.

“Teman-teman saya yang menderita, selain saya masih banyak banget. Purel-purel itu saya kasian, setiap malam cari makan. Pulang jam 02.00-03.00 WIB. Setiap hari saya tidak bisa tidur. Saya kasian. Semoga pemerintah memberikan perhatian lebih,” jelas Nur Yanto yang kini berusia 81 tahun.

Selain makan, tempat tinggal juga menjadi problem bagi mereka. Tanah yang dulunya tergusur, statusnya belum jelas hingga saat ini.

Asa sebenarnya sempat muncul saat itu. Janji pemerintah, mereka akan hidup lebih baik dengan meninggalkan dunia kelam itu.

Namun, pelatihan-pelatihan kerja yang diberikan tidak dibarengi dengan pendampingan dan modal. Mereka juga sangat terbatas dalam fasilitas pemasaran sehingga produk yang mereka hasilkan tidak terjual atau jasa-jasa mereka yang akhirnya tidak berguna.

“Pendampingan tidak ada, kalau pelatihan memang ada. Tapi pelatihan cuma pelatihan. Habis dilatih dikasih alat. Habis dikasih alat tidak ada apa-apa lagi. Modal tidak dikasih, pemasaran tidak dibantu,” saut warga lain.

Ayub pun berjanji akan membawa persoalan ini pada pemerintah. Dia pun sepakat bahwa persoalan sosial di kawasan eks lokalisasi Semampir itu perlu segera diselesaikan. Terlebih mereka yang sudah bertahun-tahun hidup menderita.

“Saya berharap, tidak hanya pada manusia, pada binatang pun kita harus peduli. Lebih-lebih manusia. Bahkan, ada cerita nyuwun sewu karena peduli terhadap anjing yang mau mati kehausan, seorang wanita tunasusila mungkin sepanjang hidupnya dia tidak pernah berbuat baik, dengan amalan ini panasnya neraka langsung dingin,” kata Ayub.

“Saya berharap Pemerintah Kota Kediri membela orang-orang yang teraniaya tertindas,” lanjutnya.

Ayub memiliki ide untuk menyulap Semampir yang berada di pinggiran Sungai Brantas itu sebagai pusat kuliner. Warga bisa bekerja di sana.

“Jangan sampai ini yang menikmati konglomerat, para pemilik modal,” tandas Ayub.

Priyo, pemandu dalam talkshow itu juga menegaskan betapa pentingnya kehadiran pemerintah di tengah-tengah mereka. Banyak cara yang bisa dilakukan, seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat menutup lokalisasi Dolly.

“Saya dari komponen LSM yang waktu itu ada mendampingi kalian semua, berjuang mempertahankan hak-haknya dari salah satu kebijakan yang dalam tanda kutip mustahil untuk dilawan. Padahal kalau mau cerdas tidak perlu dengan cara seperti itu ada pendekatan humanis yang bisa menguntungkan semua pihak,” kata Priyo.

Menurut Priyo banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan mereka kembali. Daripada hanya sekadar ditanami pohon-pohon.

“Hari ini tidak ada satupun kebijakan yang punya nilai prospek. Ini ada lahan sekian hektar mau diapakan biar warga Semampir tidak meninggal mengenaskan,” tegasnya.

Priyo mencotohkan, jika mereka awalnya adalah pedagang, kemudian diminta untuk menjahit tanpa diberi pasar, hal ini akan terasa percuma.

“Kalau saya dengar curhatan orang-orang, masih tersisa, coro wong Jowo balungan lungkrah, tulang-tulang berserakan, setelah rumah disikat habis, hak atas kepemilikan belum selesai. Saya juga mendengar ada propaganda-propaganda nanti akan dibangun ini, nanti akan dibuatkan usaha. Sampai detik ini janji tinggal janji. Saya yakin sampai detik ini luka itu masih ada di warga eks lokalisasi Semampir,” jelas Priyo.

“Mereka bukan tukang jahit, ini contoh ya, mereka ini bukan pedagang pasar, hanya pedagang kue asalnya, suruh jahit tapi tidak diberi pasar akhire njahit sikile dewe,” Priyo mencotohkan. (*)

Editor: Ali Wafa

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow