Dosen UIN KHAS Jember Lakukan Riset Fikih Mitigasi di Turki dan Maroko
Faiz terlibat dalam Istanbul Sharia dan Social Development Fellowship (ISSDF) yang diadakan oleh Universitas Istanbul di Turki dan Maghreb Islamic Jurisprudence and Social Development Fellowship (MIJSF) di Universitas Al Quaraouiyine, Maroko.
JEMBER, SJP – Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember, Muhammad Fauzinudin Faiz melakukan riset terkait fikih mitigasi dan otoritas fatwa di dua negara. Yakni Turki dan Maroko.
Faiz terlibat dalam Istanbul Sharia dan Social Development Fellowship (ISSDF) yang diadakan oleh Universitas Istanbul di Turki dan Maghreb Islamic Jurisprudence and Social Development Fellowship (MIJSF) di Universitas Al Quaraouiyine, Maroko.
Kedua fellowship itu menawarkan kesempatan bagi Faiz untuk mendalami dinamika kebijakan fikih di berbagai negara muslim.
Dalam program itu, Faiz tidak hanya berperan sebagai peneliti tamu atau visiting researcher, tetapi juga berpartisipasi dalam publikasi akademik dan berkontribusi pada kajian fikih kontemporer, yang berfokus pada kebijakan keagamaan selama masa pandemi.
Dalam penelitiannya, Faiz mengeksplorasi perbandingan antara Indonesia, Turki, dan Maroko dalam menerapkan fatwa dan panduan keagamaan terkait krisis kesehatan. Serta melihat bagaimana setiap negara menyesuaikan kebijakan agama untuk melindungi masyarakat.
Faiz menjelaskan, sistem otoritas fatwa di Indonesia cenderung lebih pluralis. Di Indonesia, lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa masing-masing, yang kemudian diikuti oleh komunitas tertentu.
“Ragam fatwa ini memungkinkan masyarakat mengikuti panduan keagamaan sesuai dengan afiliasi organisasi mereka. Namun berpotensi menimbulkan variasi dalam penerapan kebijakan di lapangan,” ucap Faiz, Kamis (31/10/2024).
Pluralitas itu, kata Faiz, memperkaya pilihan masyarakat. Meski dalam konteks krisis, hal tersebut dapat memengaruhi konsistensi kebijakan mitigasi kesehatan.
Di Turki, Faiz menyoroti Diyanet. Otoritas keagamaan tunggal yang berada di bawah naungan pemerintah itu memiliki pendekatan yang berbeda. Sebagai badan resmi, Diyanet mengeluarkan fatwa dan panduan yang berlaku nasional. Hal itu untuk memastikan masyarakat di seluruh Turki mengikuti kebijakan yang sama selama masa pandemi.
“Di Turki, semua masjid mengikuti arahan Diyanet terkait protokol kesehatan, yang menggabungkan prinsip perlindungan jiwa dengan kepatuhan agama. Hal ini memungkinkan kebijakan kesehatan di Turki berjalan tanpa hambatan,” jelasnya.
Di Maroko, Faiz mendalami bagaimana otoritas keagamaan dipusatkan pada raja sebagai amir al-mu'minin. Otoritas agama yang berada langsung di bawah kekuasaan raja, memungkinkan Maroko untuk mengintegrasikan kebijakan kesehatan dan agama secara seragam.
Dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama yang kemudian disahkan oleh raja, masyarakat Maroko memiliki panduan yang kuat dan konsisten. Hal itu menjadikan kebijakan kesehatan publik lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Faiz berharap, penelitiannya akan membuka wawasan baru bagi Indonesia dalam mengelola krisis kesehatan di masa depan. Dia percaya, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari pendekatan terpusat di Turki dan Maroko, yang dapat memperkaya perspektif tentang bagaimana kebijakan berbasis agama dapat dijalankan secara efektif.
“Pandemi ini menunjukkan kepada kita, pentingnya pendekatan yang harmonis antara kebijakan kesehatan dan prinsip agama,” ujar mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu.
Dalam program fellowship 2024 itu, Faiz terlibat dalam diskusi ilmiah bersama para mahasiswa dan dosen Universitas Istanbul. Program visiting fellowship itu menarik perhatian luas, terutama karena Faiz membahas topik fikih siyasah dan hak asasi perempuan yang relevan di Eurasia.
Para peserta seminar mengapresiasi luasnya wawasan Faiz tentang dinamika fikih mitigasi di Indonesia. Serta bagaimana kebijakan organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah memengaruhi respon masyarakat terhadap pandemi.
Faiz menargetkan, akan menerbitkan hasil penelitiannya dalam jurnal akademik internasional, setelah sebelumnya risetnya tentang fatwa MUI dan NU telah terbit di jurnal IHKAM, Jurnal dengan resputasi sinta 1 dan terindeks Q1 scopus.
Melalui publikasi itu, dia berharap dapat memberikan kontribusi berharga dalam studi fikih dan kebijakan agama, khususnya dalam konteks kesehatan publik di negara-negara muslim.
Program fellowship itu memperkuat jaringan Faiz sebagai seorang akademisi di kancah internasional. Serta memperluas pengaruh akademisi Indonesia dalam diskusi global terkait kajian Islam kontemporer. (adv)
Editor: Ali Wafa
What's Your Reaction?