Unik, Jam Istiwa' Masjid Agung Surakarta Dipertahankan
Karena keunikan dan sebagai bentuk pelestarian inilah, pengeola masjid berusaha untuk tetap mempertahankan keberadaan jam istiwa' baik dari bentuk bahkan posisinya yang berada di sebelah kanan masjid ini
Kota Madiun, SJP - Masjid Agung Surakarta, adalah salah satu masjid tertua di tanah Jawa. Sejarah Masjid Agung Surakarta diawali dari pemindahan Keraton Kartasura (+20 Km sebelah Kota Surakarta) ke Surakarta pada 17 Febuari 1745 oleh Paku Buwana II.
Perpindahan Istana tersebut merupakan imbas dari peristiwa Geger Pacina yang juga lazim disebut pacinan yang pecah tahun 1743. Geger Pacina adalah perang hebat yang dipicu pembantaian etnis Tionghoa di Batavia.
Orang- orang Tionghoa yang selamat dari Tragedi itu melarikan diri dan bergabung dengan komunitas mereka di Jawa Tengah. Mereka lalu menyerang simbol-simbol kekuasaan kompeni dan para sekutunya, termasuk merusak loji kompeni di Kartasura. Setelah berpindah ke Surakarta, Paku Buwana ke II (1745-1749) mendirikan keraton dan membuat Alun Alun.
Awalnya dahulu hanya membangun masjid berkontruksi kayu yang dibawa dari keraton Kartasura.
Masjid Agung Surakarta didirikan oleh Buwana ke 2, tetapi lantaran tiga tahun kemudian selepas Paku Buwana II menempati keratonnya yang baru itu beliau mangkat, pembangunan masjid akhirnya dilanjutkan raja raja yang memerintah berikutnya.
Peletakan tiang saka guru (empat tiang utama) dilaksankan oleh Pakubuwono III tahun 1757 M. Diantara yang banyak berikan saham dalam pembangunan dan perbaikan masjid itu adalah Paku Buwana IV, Paku Buwono VII dan Paku Buwono X.
Masjid Agung Surakarta dirancang sama bentuknya dengan masjid Demak, berbentuk joglo beratap tajuk susun tiga yang melambangkan kesempurnaan kaum muslim menjalani kehidupannya, yakni Islam, iman dan ikhsan (amal).
Hal ini tak dapat dipisahkan dari persepsi umat Islam jawa atas Demak yang digolongkan sebagai pusaka yang tak ternilai.
Kompleks Masjid Agung Surakarta didirikan di lahan yang terbilang luas, sekitar 400 meter x 800 meter, lantai masjid agung yang tingginya kurang lebih 1 meter dari permukaan tanah aslinya, karena kawasan seputaran Masjid Agung Surakarta pada mulanya tak jauh dari rawa rawa.
Lantai Masjid Agung sejak mula dibuat dari tumpukan batu bata yang disusun seluas ukuran masjid. Tumpukan batu bata itu kini tak bisa dilihat lagi karena sudah ada peluasan seluruh bagian sisi masjid, lagi pula permukaan lantainya kini telah dilapisi marmer. Sejuk jika kaki tanpa alas menginjaknya.
Tinggi bangunan masjid secara keseluruhan mencapai 20,765 m, membuat Masjid Agung Surakarta tampak menjulang ditepian Alun-Alun.
Masjid Agung dimasa kepemimpinan Paku Buwono ke X (1893-1939) bisa dibilang mencapai puncak kejayaan, berbagai terobosan dan pembangunan yang berkaitan dengan Masjid Agung Surakarta gencar dilakukan oleh Pakubowono ke-X.
Salah satu bagian yang terbilang menarik adalah keberadaan jam istiwa' atau yang biasa disebut jam bencet. Disinilah terlihat adanya sentuhan teknologi yang dimiiki oleh orang orang jaman dulu. Sebuah teknologi sederhana namun memiliki fungsi maksimal, sebelum orang mengenal arloji.
"Banyak yang belum tahu tentang jam ini," ujar Nanang salah seorang penjaga masjid, Selasa (3/10/2023).
Untuk menjaga keawetan jam bencet ini, sengaja dipasang akrilik, untuk melindungi jam tersebut.
"Kalaupun ada selisih jam yang ditunjukan dari jam ini (jam bencet) itupun tidak banyak. Hanya beberapa menit saja dari jam arloji. Selisih ini disebabkan perputaran atau pergeseran bumi," lanjut Nanang.
Namun dari pihak pengelola Masjid Agung Surakarta sendiri, secara berkala melakukan pencocokan dengan menggeser bagian cekung pada jam bencet ini.
"Jarum jam atau pandom dalam bahasa jawa, ditunjukan oleh bayangan yang terbentuk dari adanya sinar matahari," tambahnya.
Keberadaan jam istiwa' ini juga menarik minat sejumlah pengunjung yang sempat singgah di Masjid Agung Surakarta.
"Oo ini jam. Jadi jaman dulu belum ada arloji, mbah mbah sudah bisa menentukan jam, waktu sholat dari sini (jam bencet). Memang hebat orang jaman dulu," ujar Sofa Nurdianah pengunjung dari Kediri.
Karena keunikan dan sebagai bentuk pelestarian inilah, pengeola masjid berusaha untuk tetap mempertahankan keberadaan jam istiwa' baik dari bentuk bahkan posisinya yang berada di sebelah kanan masjid ini. (**)
Editor : Queen Ve
What's Your Reaction?