Bagaimana Cara Bangga Menjadi Advokat

Ditulis sebagai ucapan selamat, atas pelantikan Advokat PERADI Malang Raya pada Januari 2024

11 Jan 2024 - 12:45
Bagaimana Cara Bangga Menjadi Advokat
Wiwied Tuhu P. SH., MH. (ist/SJP)

ADVOKAT adalah sebagai kaum terpelajar, dan menyitir kalimat Jean Marais dalam The Earth of Mankind, “kaum terpelajar harus berperilaku adil sejak dari pikiran, apalagi perbuatan”.

Sejak awal mula didirikan, para founding father Bangsa Indonesia sudah memahami, bahwa yang utama untuk membangun sebuah negara adalah melalui kiprah kaum terpelajar. 

Sebab para cerdik terpelajar inilah yang akan meletakkan tata laksana bagaimana bangsa dan negara ini akan hidup dan berkembang, termasuk memberikan kerangka bagaimana semua elemen bangsa akan mengerti arti dari kata merdeka, merasakan makna kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam bingkai persatuan Indonesia.

Di tangan kaum terpelajar inilah, jargon negara hukum dengan jaminan kesederajatan bagi semua warga negara di hadapan hukum, tanpa membedakan latar belakang jabatan harta dan kekuasaan. 

Yang artinya bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama sesuai peraturan hukum, akan dapat diwujudkan dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara.

Lebih lanjut secara jelasnya, salah satu cara untuk mewujudkan cita tersebut, tentu point utamanya yakni dapatnya aparat penegak hukum bekerja secara profesional, sesuai tugas pokok dan fungsinya. 

Dalam hal ini Advokat sebagai bagian dari kaum terpelajar yang notabene juga sebagai bagian dari aparat penegak hukum, berperan sebagai pengawal semua jenis proses penegakan hukum, yang menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-undang No.18 Tahun 2003 Tentang “Advokat”, memiliki peran sangat penting.

Sebab menjadi garda untuk mendinamisasi hukum, kiranya bisa berfungsi sedemikian rupa, mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum secara adil. 

Sebab ruang aktivitas advokat didalam kehidupan hukum adalah yang paling luas, dengan memahami aparat hukum lain memiliki keterbatasan, atau konkritnya dalam hal ini, polisi dan jaksa hanya ada pada aspek pidana dan atau berdimensi publik, atau hakim yang hanya ada pada aspek Litigasi (persidangan Pengadilan).

Istilah Advokat di Indonesia, yang berasal dari istilah Bahasa Belanda Advocaat pada masa pemerintahaan Kolonial, dari dahulu hingga sekarang, tidak pernah melepaskan diri dari label officium nobile (Profesi Terhormat). 

Meski entah apakah masih layak atau tidak label tersebut disematkan kepada advokat yang ada sekarang, dengan menimbang jargon dari Negara Hukum Indonesia, yakni jaminan kesederajatan bagi semua warga negara di hadapan hukum, yang bisa juga diartikan semua setara (semua profesi) dan tidak ada yang lebih terhormat salah satu dibandingkan dengan yang lainnya.

Serta memperhatikan fakta tidak konsistennya antara amanat dari UU 18 Tahun 2003 Pasal 28 tentang ide Single Bar (organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat), dengan banyaknya organisasi advokat, serta standarisasi kwalitas yang sangat beragam, juga penegakan etik yang bervariasi.

Bahkan mudahnya advokat untuk berpindah organisasi bilamana bermasalah dengan organisasi sebelumnya, selanjutnya  mengingat seringkali dijumpa permasalahan hukum yang disebabkan ketidak profesionalan praktek advokat didalam menjalankan peran penegakan hukum. 

Seperti misalnya pendampingan ala kadarnya sebagai kedar penggugur kewajiban didampingi oleh advokat pada perkara-perkara pidana tertentu, menjalankan profesi berorientasi pada mencari keuntungan, praktik suap, menjadi bagian dari mafia peradilan dan lain sebagainya yang berkonotasi negatif.

Akan tetapi bagaimanapun keadaan advokat hari ini, dengan segala macam problematikanya, dengan ruang aktivitas hukum yang demikian luas, mulai dari peran membantu pencari keadilan dengan cara Litigasi (persidangan di Pengadilan) maupun Non Litigasi (Penyelesaian permasalahan diluar Pengadilan), baik dalam aspek privat/pribadi maupun aspek publik, yang berarti keberadaannya sangat dibutuhkan. 

Dan kalaupun ternyata masih saja banyak permasalahan yang dihadapi Advokat didalam membangun bentuk, fungsi dan karakter yang ideal, dapatlah dimaklumi sebagai geliat proses mencari bentuk yang terbaik, dalam nuansa demokratis sehingga tensi perdebatan sangat tinggi, juga dalam situasi hukum yang masih sedang tidak baik-baik saja, dengan masih tingginya perilaku korupsi (data Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dilaporan tahun 2023.

Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara), yang artinya memang tantangan untuk tercipta kondisi terbaik, masih sangat berat.

Di sisi lain, meningkatnya kesadaran dan kebutuhan hukum masyarakat, mau tidak mau juga menjadikan kehadiran advokat dalam semua lini kehidupan juga dibutuhkan. 

Hal ini demi sikapi kompleksitas dan dinamika jaman, maka tidak bisa tidak, perlu sosok yang cakap memberi arahan/konsul, mempu membela dan sekaligus menuntut, yang pada pokok maksud idealnya untuk mendudukkan hak semua pihak  ada dalam porsinya masing-masing.

Sekelumit kisah dari masa jaya Ayodya di Kosala tempat lahirnya Sri Rama tokoh utama dari epic Ramayana, yang mungkin secara silsilah budaya memiliki ketersambungan dengan adab bangsa Nusantara, Para Pembela (baca: Pengacara/Advokat) bukanlah para Ksatria sehingga tidak wajib memanggul senjata.

Tapi merupakan beban para Brahmana yang terpilih, yang dianggab bisa mengejawantahkan makna adil secara terhormat (setara officium nobile), tanpa diburu hasrat akan harta, tahta, dan kuasa, sehingga mampu menjadi harapan bagi yang sedang mendamba keadilan. 

Dan kira-kira demikian pula seharusnya eksistensi advokat yang sesuai dengan adab budaya nusantara, mengingat sejatinya adab diturunkan melalui pertautan batin dari sejak masa lalu oleh leluhur orang-orang nusantara. 

Perjalanan waktu telah sampai pada masa sekarang, dengan secara teori menegaskan prinsip negara Indonesia sebagai negara hukum. 

Oleh sebab itu ide tersebut akan bisa berjalan dengan baik, salah satunya melalui efektifnya peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab, di dalam maupun di luar pengadilan.

Akan tetapi dalam praktik, tidak jarang advokat terbentur dengan berbagai permasalahan, mulai dari perkara dilecehkan kewenangannya, diabaikan hak-hak-nya, terhambat untuk mengaktualisasi diri, dan akan parah jika advokat sendiri sudah tinggi hati merasa sebagai kaum elit, terjangkiti budaya Hedonisme, membela hanya berorientasi keuntungan ekonomi, hingga terjerat dalam belantara mafia peradilan. 

Yang bilamana sudah sedemikian kritis, maka selain susah lagi untuk pencari keadilan percaya 100 persen kepada advokat, juga sebagai Advokat tentu akan kesulitan untuk memiliki kepercayaan diri dilabeli Officium Nobile.

Akan tetapi, meski dengan keadaan sedemikian rupa, bilamana menengok semangat dari generasi baru advokat, yang memiliki antusiasme untuk menjadi insan-insan penegak hukum yang berdedikasi, dengan bekal pengajaran akan idealisme dari bangku pendidikan yang dienyamnya, dan teori-teori menggapai keadilan yang masih segar dalam ingatannya, serta berpegang pada sumpah kode etik yang masih berdengung di sanubarinya, tentu akan menjadikan kembali bangga, untuk menjadi bagian penting mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai penutup, selamat kepada kawan-kawan yang dilantik dan sekarang memiliki kewenangan sebagai advokat. 

Jangan khianati sumpah sebagai Advokat, dan sibuk bersolek diri dengan segala benda-benda duniawi, oleh ibu pertiwi. 

Kita sedang diberi tugas lebih besar dari keinginan diri sendiri, jadi “kayalah dengan pengetahuan, berhias dengan keberanian, secukupnya dalam gaya, dan jatuh hanya dalam cinta”. 

Jikalau tetap begitu maka mungkin itulah resep berbangga untuk menjadi advokat dengan dilabeli Officium Nobile (profesi terhormat).

Penulis: Wiwied Tuhu P. SH., MH. Advokat Pada ASMOJODIPATI LAWYER’S, Ketua Bidang Pembelaan Profesi Advokat DPC PERADI Malang Raya

Disclaimer : Segala isi di rubrik OPINI, baik berupa teks, foto, maupun gambar merupakan pendapat pribadi penulis dan segala konsekuensi bukan menjadi tanggung jawab redaksi.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow