57 Tahun Peringatan Hari Kesaktian Pancasila: Amanat Sila Ke 5 Masih Menjadi PR Negara

30 Sep 2023 - 02:45
57 Tahun Peringatan Hari Kesaktian Pancasila: Amanat Sila Ke 5 Masih Menjadi PR Negara
Kesekian kali peringatan Hari Kesaktian Pancasila, negara masih abai akan pemenuhan amanat sila-silanya. Sabtu, (30/9/2023) (Donny Maulana/SJP)

Oleh : Donny Maulana/ Ketua GMNI Malang/ Mahasiswa Pascasarjana UM

Kota Malang, SJP – 1 Oktober selalu diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila

Tahun ini menjadi tahun ke 57 peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang sudah mulai diperingati sejak tahun 1966.

Awalnya peringatan ini ditetapkan dari Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto pada tanggal 17 September 1966. 

Isi dalam surat tersebut bahwa peringatan Hari Kesaktian Pancasila harus dilakukan oleh seluruh pasukan Angkatan Darat dan mengikutsertakan angkatan lainnya serta masyarakat.

Saat itu, (1/10/1966), upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila pertama kali dilakukan di Lubang Buaya, Jakarta.

Pada awalnya peringatan Hari Kesaktian Pancasila dilakukan sebagai upaya peneguhan kembali Pancasila sebagai dasar dan landasan falsafah bangsa dan negara Indonesia pasca terjadinya Tragedi G30S (30/9/1965) yang menciptakan dinamika yang besar bagi Indonesia.

Pancasila dan Amanat Sila Ke 5 

57 tahun telah berlalu, Hari Kesaktian Pancasila masih diperingati setiap tahunnya.

Namun pertanyaan besarnya adalah, apakah ini hanya sekadar dimaknai sebagai euforia dan ruang refleksi tahunan saja?

Berbicara Pancasila dalam nuansa pasca-reformasi agaknya semua elemen terutama negara harus berbicara tentang bagaimana masing-masing sila sudah diamalkan hingga bermuara pada amanat sila ke 5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Namun yang menjadi salah satu paradoks besar hari ini adalah bagaimana negara berdiri dalam porsinya untuk memenuhi amanat sila ke 5 tersebut?

Terbaru, pertanyaan itu kembali mencuat ke permukaan tatkala banyaknya persoalan yang terjadi akan tetapi seakan keberpihakan negara tidak pada kepentingan dan pemenuhan keadilan bagi rakyat Indonesia.

Berbagai pelanggaran HAM masa lalu yang belum ada upaya elaborasi konkret dari pemerintah untuk menuntaskannya, persoalan Rempang yang juga kita kritisi posisi keberpihakan negara, kriminalisasi para pejuang HAM hingga kepastian dan keadilan hukum dalam Tragedi Kanjuruhan menjadi catatan merah negara dalam upaya pemenuhan amanat sila ke 5 Pancasila dalam momentum 57 tahun peringatan Hari Kesaktian Pancasila ini.

Memang tempo hari negara telah mengakui dan meminta maaf terhadap berbagai peristiwa (12 peristiwa) pelanggaran HAM berat di masa lalu, namun sepertinya semua itu seakan hanya sebuah bentuk verbalisme dan hanya berhenti di sana, tidak ada kepastian hukum apalagi pemenuhan keadilan.

Terkait persoalan agraria, masih banyak terjadi kasus di mana negara juga terkesan mengesampingkan pemenuhan hak rakyat, terbaru kita melihat bersama dalam persoalan Rempang (dan bisa saja itu terjadi dikemudian hari pada ruang-ruang hidup sekitar kita). 

Lantas pertanyaan besarnya, kepada siapa sila ke 5 bermuara? Keadilan sosial bagi rakyat yang mana?

1 Oktober: 1 Tahun Tragedi Kanjuruhan, Konflik Agraria, Kriminalisasi Aktivis dan Paradoks Hari Kesaktian Pancasila dalam Konteks Keberpihakan Negara

Tepat 1 tahun yang lalu, (1/10/2022) terjadi peristiwa berdarah yang mengakibatkan sedikitnya 135+ nyawa melayang dan ratusan lainnya luka-luka dalam Tragedi Kanjuruhan

1 tahun sudah berbagai upaya perjuangan menjemput keadilan dan kepastian hukum telah dilakukan oleh berbagai elemen dan simpul masyarakat.

Namun seakan perjuangan yang dilakukan tidak mendapat sambutan yang baik oleh negara.

Hal ini dapat dilihat dalam konteks sederhana; bagaimana keadilan hukum kepada seluruh pelaku (baik aktor maupun tokoh belakang layar), bagaimana pemenuhan keadilan bagi seluruh korban, hingga bagaimana upaya serta keseriusan negara dalam mendalami serta melakukan investigasi mendalam untuk menemukan bukti-bukti yang lebih valid hingga bermuara pada penyelesaian perkara (alih-alih menghilangkan barang bukti; renovasi Stadion Kanjuruhan).

Di sisi lain, data dari Komnas HAM bulan Januari-Agustus 2023 menunjukkan tingginya angka konflik agraria di Indonesia

Sedikitnya 692 kasus terjadi dalam kurun waktu tersebut (4 kasus per hari) dan yang menarik di sini adalah dalam hal teradu, empat tertinggi ditempati oleh Perusahaan (30,6 %), Pemerintah Daerah (17,7 %), pemerintah Pusat (17,6 %) dan kepolisian (7,4 %). 

Dalam konteks ini, perusahaan dilaporkan sebagai pihak yang diberikan ijin oleh pemerintah

Hal ini menunjukkan masifnya pemberian ijin yang tidak memperhatikan keberadaan masyarakat di lokasi ijin (masyarakat adat salah satunya)

Sementara itu, 3 lembaga lain yang merupakan terlapor merupakan elemen dari negara itu sendiri. Pertanyaannya, kemana sebenarnya negara berpihak?

Lebih lanjut, menurut data dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sepanjang 2022 telah terjadi 497 kasus kriminalisasi pejuang hak atas tanah atau konflik agraria (land rights defenders).

Ini merupakan fakta masih dan sangat tingginya kriminalisasi serta represifitas aparat penegak hukum negara pada aktivis atau pejuang ham/agraria.

Sebuah Epilog: Merawat Ingat, Pembangkitan Kesadaran, Pembentukan Kekuatan dan Aksi Kolektif

Menarik untuk terus melihat bagaimana paradoks-paradoks yang dilakukan oleh negara mendatang

Namun, sebagai salah satu elemen masyarakat, kita (pemuda) jangan hanya mau untuk diam dan menerima

Nilai-nilai yang termuat dalam falsafah negara (Pancasila) harus kita terjemahkan dan tegakkan.

Hal itu harus lakukan dengan memulai memahami ideologi dan coba mengimplementasikannya dalam setiap ruang kehidupan bahkan dalam aspek paling sederhana sekalipun.

Lebih lanjut, upaya merawat ingat akan berbagai tragedi dan persoalan yang pernah terjadi juga agaknya menjadi secerca api perjuangan yang tidak boleh padam.

Api itu kemudian harus diperbesar dengan berbagai upaya pembangkitan kesadaran kolektif, pembentukan kekuatan revolusioner yang melibatkan semua komponen rakyat semesta hingga bermuara pada upaya perjuangan serta aksi kolektif untuk bisa memperjuangkan setiap persoalan, isu, dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi baik secara kooperatif maupun nonkooperatif.

Hanya dengan cara seperti itu, kita bisa berharap dan memupuk optimisme bahwa mendatang setiap perayaan hari besar/peristiwa sejarah tidak hanya dimaknai sebagai sesuatu yang paradoks dan nestapa serta berhenti dalam ruang-ruang verbalisme belaka.

Ya, bukankah perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata? 

Disclaimer : Segala isi di rubrik OPINI, baik berupa teks, foto, maupun gambar merupakan pendapat pribadi penulis dan segala konsekuensi bukan menjadi tanggung jawab redaksi

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow