Tanggapan Pakar Sosiologi Pendidikan UNAIR Terhadap Clash of Champions: Dualisme Antara Edukasi dan Eksklusivitas
Kehadiran acara CoC ini menyimpan dualisme, disatu sisi membawa manfaat bagi mahasiswa dengan kemampuan kognitif pada bidang ilmu eksakta, namun belum membawa manfaat yang sama bagi mahasiswa dengan minat dan bidang studi sosial humaniora.
Surabaya, SJP - Di tengah hiruk pikuk dunia maya yang sering dikonotasikan buruk karena maraknya konten-konten negatif, kemunculan program reality show berjudul Clash of Champions (CoC) bagaikan tiupan angin segar.
Bagaimana tidak, acara yang diinisiasi oleh Ruang Guru itu menyajikan tontonan edukatif namun tetap menarik, yakni berbentuk sebuah game show yang mempertemukan mahasiswa-mahasiswa berprestasi Indonesia dari berbagai Universitas untuk saling adu kecerdasan.
Bak sebuah anomali, acara positif tersebut ternyata cukup digemari oleh masyarakat Indonesia, namun tentu ditengah kepopulerannya beragam tanggapan mengenai program tersebut mulai bermunculan.
Menanggapi hal tersebut, pakar Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR, Dr Tuti Budirahayu Dra MSi mengatakan, bahwa tayangan tersebut merupakan bagian dari strategi bisnis dan pemasaran layanan kepada masyarakat melalui tim kreatif.
“Dengan cara ini, maka Ruang Guru sebagai sebuah bisnis pendidikan akan semakin populer di kalangan masyarakat yang menginginkan anak-anak mereka memiliki kemampuan sekaliber para peserta CoC,” terang Tuti, Jumat (5/7).
Ia memaparkan, kehadiran acara CoC ini menyimpan dualisme, yang mana di satu sisi CoC bisa membawa manfaat bagi mahasiswa maupun masyarakat yang mengonsumsi acara tersebut.
Menurut Tuti, pihak yang mendapatkan manfaat langsung dari acara tersebut adalah para mahasiswa berotak cemerlang dari universitas bergengsi yang menjadi peserta dalam acara tersebut.
“Manfaat secara langsungnya, nama mereka (peserta) akan semakin populer, yang sebelumnya mereka memang sudah terkenal sebagai mahasiswa unggul dan ini menjadi tambahan modal bagi mereka untuk jenjang karir yang lebih tinggi,” papar Tuti.
Acara ini akan sangat membawa manfaat bagi mahasiswa dengan kemampuan kognitif pada bidang matematika atau ilmu eksakta lainnya, sedangkan bagi mahasiswa dengan minat dan bidang studi sosial humaniora, bisa dibilang belum mendapatkan manfaat secara langsung dari acara tersebut.
“Masyarakat yang memiliki minat dalam bidang kognitif akan termotivasi, namun bagi mahasiswa yang memiliki talenta berbeda seperti di bidang seni, sastra, dan ilmu-ilmu sosial humaniora mungkin belum bisa merasakan manfaat secara langsung,” tutur Tuti.
Meski begitu, Tuti menegaskan bahwa ide dari game CoC patut mendapatkan apresiasi, baik bagi penyelenggara maupun bagi peserta yang memiliki latar belakang berbeda dengan berbagai keunggulan.
Namun, menurut Tuti penyelenggara juga harus tetap memperhatikan keberagaman mahasiswa yang terlibat.
“Acara itu menurut saya baik dan mengapresiasi para mahasiswa bertalenta, namun pembuat acara itu sebaiknya dapat lebih memperhatikan keberagaman mahasiswa," ucap Tuti.
"Jangan sampai nantinya malah membuat para peserta semakin menjadi kelompok mahasiswa elite dan eksklusif yang merasa lebih baik dan pintar dari teman-teman mahasiswa lainnya,” sambungnya.
Karena menurut Tuti tugas mahasiswa tidak hanya sebatas mengembangkan ilmu pengetahuan saja, nun juga harus mampu bersikap kritis terhadap berbagai persoalan yang membelit masyarakat. (*)
Editor: Rizqi Ardian
What's Your Reaction?