Soroti Fenomena Kotak Kosong di Pilkada 2024, Rektor UNAIR Himbau Paslon Tunggal Tak Perlu Kampanye ke Kampus
Pilkada 2024 diwarnai fenomena calon tunggal di beberapa daerah, memicu diskusi tentang demokrasi, kotak kosong, dan tantangan kampanye tanpa pesaing langsung.
SURABAYA, SJP - Fenomena kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) semakin menjadi perhatian di berbagai daerah, yang mana masyarakat dihadapkan pada situasi di mana hanya ada satu pasangan calon (paslon) yang maju dalam pemilihan, tanpa ada pesaing langsung.
Kondisi ini memicu diskusi mengenai sejauh mana demokrasi lokal berjalan efektif jika pilihan bagi pemilih begitu terbatas, bahkan bagi beberapa kelompok pemilih, kotak kosong adalah satu-satunya alternatif jika merasa tidak puas dengan pilihan paslon yang ada.
Kondisi ini juga terjadi di Provinsi Jawa Timur sendiri, yang mana setidaknya ada lima daerah yang dihadapkan dengan fenomena paslon tunggal dalam Pilkada 2024, di antaranya adalah Kabupaten Trenggalek, Ngawi, Gresik, Pasuruan, dan Kota Surabaya.
Kota Surabaya, sebagai kota terbesar di Jawa Timur bahkan hanya ada calon petahana yakni Eri Cahyadi dan Armuji yang akan maju di Pemilihan Wali Kota (Pilwali) 2024.
Menanggapi kondisi tersebut, Rektor Universitas Airlangga, Prof. Dr. Mohammad Nasih, S.E, M.T, Ak, CA, menyampaikan pandangannya, yang mana menurutnya kondisi paslon tunggal menimbulkan tantangan tersendiri dalam proses kampanye.
Terutama bagi pemilih muda dan kelompok mahasiswa yang biasanya mengharapkan adanya perbandingan ide dan gagasan dari beberapa calon, hal ini membuat kampanye atau debat yang biasa dilakukan di lingkup kampus atau universitas menjadi tidak lagi efektif.
"Jadi agak susah, kalaupun kita minta kotak kosong utnuk diberi kesempatan juga, tetapi siapa yang akan mewakili kotak kosong? tidak hanya jadi kurang relevan, debatnya pun jadi tidak efektif," ujar Prof. Nasih, Sabtu (5/10/2024).
Dirinya menilai, dengan hanya satu calon, kampanye di kampus menjadi kurang menarik karena mahasiswa cenderung ingin membandingkan program dan visi dari beberapa calon.
Ia juga menambahkan bahwa paslon tunggal mungkin tidak perlu terlalu aktif berkampanye di kampus karena tidak ada pesaing yang bisa dibandingkan secara langsung.
"Kawan-kawan mahasiswa itu kan pinginnya bandingkan si A, si B, si C. Kalau tidak ada yang dibandingkan, itu kan piye," katanya, menyoroti kelemahan dari sistem paslon tunggal ini.
Prof. Nasih menegaskan, jika kampanye di kampus tetap dilaksanakan, baik kotak kosong maupun paslon yang ada harus diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan ide-idenya.
"KPU bisa menyelenggarakan debat atau forum yang melibatkan kotak kosong, sehingga pemilih bisa memahami kenapa harus memilih si A atau kotak kosong. Itu saja kalau dikaitkan dengan kampanye di kampus," tutupnya. (*)
Editor: Rizqi Ardian
What's Your Reaction?