Penurunan Harga Minyak Terjadi Akibat Perlambatan Ekonomi China dan Ketegangan Timur Tengah
Penurunan ini dipicu oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan sentimen investor terhadap situasi konflik di Timur Tengah
Suarajatimpost.com - Harga minyak mengalami penurunan pada Jumat (18/10/2024), dengan catatan penurunan lebih dari 7 persen selama pekan ini. Penurunan ini dipicu oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan sentimen investor terhadap situasi konflik di Timur Tengah.
Menurut laporan dari Reuters, harga minyak Brent turun sebesar US$ 1,39 (1,87%) menjadi US$ 73,06 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di Amerika Serikat juga jatuh US$ 1,45 (2,05%) menjadi US$ 69,22 per barel. Dalam pekan ini, Brent mencatat penurunan lebih dari 7 persen, sedangkan WTI mengalami kehilangan sekitar 8 persen, menandai penurunan mingguan terbesar sejak 2 September lalu ketika OPEC dan Badan Energi Internasional (IEA) merevisi proyeksi permintaan minyak global untuk 2024 dan 2025.
Pertumbuhan ekonomi China, sebagai negara pengimpor minyak terbesar di dunia, melambat ke level terendah sejak awal 2023 pada kuartal ketiga, meskipun konsumsi dan output industri di bulan September melebihi ekspektasi.
John Kilduff, mitra di Again Capital, New York, menyatakan, "China menjadi kunci dalam sisi permintaan, sehingga hal ini sangat membebani harga minyak hari ini."
Produksi kilang minyak di China telah menurun selama enam bulan berturut-turut akibat margin kilang yang sempit dan lemahnya konsumsi bahan bakar, yang mengurangi aktivitas pemrosesan. Neil Atkinson, analis energi independen di Paris dan mantan kepala divisi minyak di IEA, menyoroti dampak kendaraan listrik di China.
"Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, termasuk kelemahan ekonomi China dan juga peralihan menuju elektrifikasi transportasi,” katanya.
Pada bulan Agustus, penjualan kendaraan listrik di China melonjak 42 persen, mencapai lebih dari satu juta unit. Di tengah situasi ini, bank sentral China meluncurkan dua skema pendanaan untuk mengalirkan 800 miliar yuan (sekitar US$ 112,38 miliar) ke pasar saham melalui kebijakan moneter baru.
Rishi Rajanala, rekanan di Aegis Hedging, mengungkapkan, “Data ekonomi China menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang belum stabil, tetapi upaya stimulus tambahan baru-baru ini mengecewakan partisipan pasar.”
Di sisi lain, Presiden AS Joe Biden menyampaikan adanya peluang untuk menangani konflik Israel dan Iran dengan pendekatan yang dapat meredakan ketegangan di Timur Tengah untuk sementara waktu. (**)
sumber: investor.id
Editor : Rizqi Ardian
What's Your Reaction?