Fenomena Eceng Gondok di Mojokerto, di Kota Dicemaskan Warga, di Kabupaten Jadi Rupiah

Fakta berbeda terjadi di Kabupaten Mojokerto. Jika Pemkot Mojokerto akan memusnahkan eceng gondok, warga Kabupaten Mojokerto justru memanfaatkan tanaman air itu sebagai pundi-pundi rupiah.

23 Nov 2024 - 14:03
Fenomena Eceng Gondok di Mojokerto, di Kota Dicemaskan Warga, di Kabupaten Jadi Rupiah
Suliadi owner Banyu Putih Art saat menunjukkan kerajinan berbahan dasar eceng gondok. (Syaiful/SJP)

MOJOKERTO, SJP - Fenomena kemunculan eceng gondok yang memenuhi permukaan sungai di Kota Mojokerto membuat warga khawatir menyebabkan banjir. Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto pun berencana membersihkannya.

Namun, fakta berbeda terjadi di Kabupaten Mojokerto. Jika Pemkot Mojokerto akan memusnahkan eceng gondok, warga Kabupaten Mojokerto justru memanfaatkan tanaman air itu sebagai pundi-pundi rupiah.

Seperti yang dilakukan oleh Suliadi (45), warga Desa Jeruk Seger, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto. Dia sudah 21 tahun menyulap eceng gondok menjadi sebuah karya bernilai ekonomis. Dia menekuninya sejak tahun 2003.

"Saya belajarnya otodidak sejak tahun 2000. Namun memulai produksi penjualan dari tahun 2003," ucapnya kepada suarajatimpost.com, Sabtu (23/11/2024). 

Pada tahun 2004, Suliadi berkesempatan mengikuti pelatihan di Surabaya selama dua bulan. Pelatihan itu digelar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim) berkolaborasi dengan salah satu kementerian.

Sebelum mengikuti pelatihan, dia hanya bisa membuat tas. Berkat pelatihan itu, kini dia sudah bisa membuat beberapa jenis kerajinan lain berbahan dasar eceng gondok. Seperti suvenir dan jenis kerajinan lainnya.

"Awalnya model tas. Kemudian 2004 ada pelatihan gratis di Surabaya dari kementerian. Setelah pelatihan dua bulan akhirnya saya dapat model banyak. Mulai tempat tisu, sandal, topi, bantal," jelasnya.

Suliadi menyebut, eceng gondok yang bisa dijadikan bahan kerajinan yaitu yang hidup di air diam. Sebab, eceng gondok yang hidup di air mengalir tidak bisa tumbuh panjang. Sedangkan untuk kerajinan, dibutuhkan eceng gondok yang panjang.

Inovasi yang diciptakan Suliadi itu ternyata tidak main-main. Berkat usahanya, dia bahkan mampu membuka peluang kerja bagi generasi muda di sekitarnya. Bahkan di awal perjuangannya, dia melibatkan pengurus Karang Taruna desa.

"Dulu saya menggerakkan Karang Taruna untuk mencari eceng gondok. Karang Taruna juga saya latih untuk membuat kerajinan,” ungkapnya. 

Suliadi menyebut, sebenarnya petani eceng gondok di Kabupaten Mojokerto tersebar di tiga desa. Semuanya berada di Kecamatan Mojosari. Mereka berdikari sejak tahun 1996 sampai 2018. Bahkan eceng gondok dari tiga desa itu dikirim ke Cirebon 5 ton per bulan.

Kata Suliadi, perusahaan kerajinan suvenir dari bahan dasar eceng gondok yang besar saat itu ada di Cirebon. Sedangkan di Mojokerto belum ada.  

"Ada tiga desa yang di dalamnya ada petani eceng gondok. Salah satunya Desa Ngimbangan. Itu pun belum mampu memenuhi permintaan. Akhirnya pabrik yang di Cirebon kerja sama dengan Surabaya dan yang di sini berhenti," ucap owner industri Banyu Putih Art itu. 

Dalam memasarkan produknya, Suliadi sempat menitipkannya ke Dinas Koperasi Provinsi Jawa Timur dan Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Timur di Surabaya. Kini, dia hanya memasarkan produknya secara online.

Dengan berbagai keterbatasan yang dialami, Suliadi tetap optimistis bisa menjalankan usahanya hingga mampu membuka lapangan pekerjaan. Bahkan bupati Mojokerto pernah mengunjungi tempat usahanya di Desa Jeruk Seger pada tahun 2022.

Kini dia berharap mendapat dukungan modal dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto. Tidak hanya itu, dia juga berharap mendapat dukungan di bidang pemasaran. Dia akan sangat bersyukur bila difasilitasi dengan pelatihan secara berkala.

"Paling tidak, pemerintah memberikan peluang pasar. Karena kerajinan eceng gondok itu bukan kebutuhan pokok. Jadi pasarnya tidak setiap hari," harapnya.

Menurut Suliadi, selain pemasaran, kendala yang dialaminya yaitu perihal tenaga kerja. Saat dirinya mendapat pesanan dalam jumlah besar, dia kewalahan. Kalau pun ada, dia harus membimbing setiap pekerjanya dari awal. 

"Kadang mengajari sepuluh orang. Kadang lima orang. Kadang hasilnya hanya jadi dua sampai tiga produk. Kadang tidak jadi sama sekali. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang masih eksis walau tertatih-tatih,” keluhnya. 

Kerajinan tangan yang dibuat Suliadi harganya tergolong murah. Mulai dari ribuan hingga ratusan ribu rupiah. Namun harga itu tergantung jenis dan model kerajinannya. Tingkat kesulitan dalam pembuatan setiap kerajinan sangat memengaruhi harga.
 
"Semua ada. Mulai dari Rp3 ribu, berupa tatakan gelas. Ada yang Rp15 ribu berupa kotak pensil. Hingga tas yang harganya ratusan ribu. Untuk omzet tidak tentu, tergantung pesanan. Kalau ramai bisa tembus Rp10 jutaan," pungkasnya. (*) 

Editor: Ali Wafa

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow