Review Film "Venom: The Last Dance (2024)," Penutup Epik Petualangan Eddie Brock dan Venom
film ini menyuguhkan nuansa emosional yang mendalam
Suarajatimpost.com - Film Venom: The Last Dance (2024) menjadi bab terakhir dari perjalanan Eddie Brock (diperankan oleh Tom Hardy) dan simbiotnya, Venom. Sebagai installment ketiga dalam franchise Venom yang diproduksi oleh Sony Pictures, film ini menandai akhir dari kisah antihero ikonik Marvel ini.
Disutradarai oleh Kelly Marcel, yang juga terlibat dalam penulisan naskah bersama Hardy, film ini menyuguhkan nuansa emosional yang mendalam meskipun ada beberapa elemen penting yang terasa hilang dalam durasi 109 menit.
Beritasatu.com berkesempatan untuk mengikuti screening eksklusif Venom: The Last Dance pada Selasa (22/10/2024) di Gandaria City, Jakarta.
Cerita dimulai dengan Eddie yang kembali setelah perjalanan antarsemesta, seperti yang terlihat dalam post-credits scene dari Venom: Let There Be Carnage dan Spider-Man: No Way Home. Kini, Eddie dikejar oleh pihak kepolisian dan Knull (Andy Serkis), pencipta simbiot. Dalam pelariannya, Eddie dan Venom dihadapkan pada dilema emosional dan hubungan simbiosis mereka, sembari berjuang untuk bertahan hidup dari kejaran Knull.
Venom: The Last Dance memiliki banyak keunggulan. Salah satunya adalah bagaimana Tom Hardy benar-benar menghidupkan karakter Venom. Hardy tidak hanya berperan sebagai Eddie Brock, tetapi juga berkontribusi dalam improvisasi suara dan humor khas Venom, yang telah berkembang sejak film pertama.
Hubungan Eddie dan Venom, yang awalnya bersifat parasit, bertransformasi menjadi simbiosis mutualisme. Venom terlihat ingin melindungi Eddie, dan Eddie tak ingin kehilangan simbiotnya.
Para pemeran pendukung seperti Juno Temple (Teddy Payne atau Agony), Chiwetel Ejiofor (Rex Strickland), Rhys Ifans (Martin), dan Stephen Graham (Patrick Mulligan atau Toxin) juga memberikan penampilan yang solid, menambah kedalaman cerita.
Dari sisi visual, film ini menyuguhkan adegan aksi yang memukau dengan efek CGI yang mengesankan. Adegan kejar-kejaran dan transformasi simbiot Venom menambah intensitas petualangan, sementara pertempuran dengan musuhnya menyajikan efek visual yang menghibur.
Namun, sebagai penutup trilogi, penonton mungkin akan membandingkan film ini dengan dua sebelumnya. Ketidakhadiran Anne Weying (Michelle Williams) yang sebelumnya menghadirkan elemen romansa membuat fokus cerita terlalu terpusat pada petualangan Eddie. Meski Knull adalah antagonis utama, Venom justru lebih banyak menghadapi pasukan Knull, menjadikan pertarungan klimaks terkesan biasa saja. Kehilangan karakter antagonis yang karismatik, seperti Riot dan Carnage di film sebelumnya, menjadikan Venom 3 terasa lebih sebagai kisah pelarian dan dilema emosional.
Secara keseluruhan, Venom: The Last Dance adalah film aksi yang menghibur, penuh tawa, dan layak sebagai penutup perjalanan Eddie Brock dan Venom. Meski memiliki beberapa kekurangan, intensitas aksi dan efek visual yang memadai membuat film ini tetap menarik bagi para penggemar karakter antihero ini. Bagian akhir yang menampilkan cuplikan perjalanan Eddie dan Venom memberikan nuansa nostalgia dan perpisahan emosional dari Tom Hardy. Film ini juga memiliki post-credits scene yang meskipun tidak terlalu berpengaruh, tetap menarik bagi perkembangan Sony's Spider-Man Universe (SSU) ke depan. (**)
sumber: beritasatu.com
Editor: Ali Wafa
What's Your Reaction?