Polemik Sengketa Lahan Rusunawa Gunung Anyar Tambak Berlanjut
Polemik sengketa hukum lahan Rusunawa Gunung Anyar Tambak, Surabaya, antara Allan Tjipta Rahardja dengan Pemprov Jatim berlanjut persoalkan status lahan dan melakukan perlawanan atas penetapan eksekusi Nomor 62 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Surabaya, SJP - Polemik sengketa hukum lahan Rusunawa Gunung Anyar Tambak, Surabaya, antara Allan Tjipta Rahardja dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) masih berlanjut.
Pemprov Jatim persoalkan status lahan dan melakukan perlawanan atas penetapan eksekusi Nomor 62 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Sidang perdana perlawanan tersebut diagendakan pada 18 Desember 2023.
Penasihat hukum Allan, DR. DRS Sajali SH MH MM Ph D CPCLE C NS, memastikan bahwa objek lahan seluas 14.210 meter persegi yang di atasnya telah dibangun Rusunawa tersebut, secara hukum adalah milik sah Allan karena telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.
Praktisi hukum sekaligus ketua Umum Jatim Corruption Watch (JCW) itu juga mengklaim bahwa sudah ada penetapan eksekusi dan telah dilaksanakan oleh Pengadilan pada Agustus lalu.
"Kami telah mengajukan eksekusi karena telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan keluar penetapan Eksekusi Nomor 62 Tahun 2021. Dan telah dibacakan oleh juru sita Pengadilan Negeri (PN) Surabaya bulan Agustus 2023," ungkap Sajali, Selasa (5/11).
Pihaknya juga telah mengajukan permohonan pengosongan kepada PN Surabaya atas tiga unit Rusunawa di Lantai 4 Rusunawa Gunung Anyar Tambak.
Kendati demikian, Pemprov Jatim melakukan upaya hukum perlawanan di Pengadilan atas penetapan eksekusi Nomor 62 tersebut.
"Penetapan tidak bisa dilawan karena peradilan tidak bisa dituntut dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara perdata. Berarti Gubernur telah melawan yudikatif sedangkan yudikatif adalah kuasa negara," kata Sajali.
Dijelaskan Sajali, pada 6 Agustus 1984, Kamto Tjiptaraharja, ayah kandung Allan Tjipta Rahardja, membeli tanah seluas 14.210 meter persegi dari Suleman Bin Dulkayi, dengan alas hak yasan petok letter C Nomor 151.
Proses transaksi dilakukan di hadapan notaris Stefanus Sindunatha.
Kamto Tjiptaraharja membayar Rp14.201.000 secara lunas. Meskipun Kamto belum menggunakan tanah tersebut, Suleman diizinkan untuk sementara menggarap dan menikmati hasilnya. Kesepakatan disepakati bahwa jika tanah tersebut dibutuhkan, Suleman harus mengembalikannya tanpa syarat.
Selanjutnya, pada tahun 1999, Pemerintah Kota Surabaya melaksanakan proyek pelebaran Sungai Kebon Agung, yang menyebabkan sebagian tanah objek milik ahli waris Kamto Tjiptaraharja terkena pembebasan lahan dengan pemberian ganti rugi. Namun, Suleman yang menerima ganti rugi sejumlah Rp191.091.300.
Sajali menegaskan, Suleman menerima ganti rugi dengan cara yang tidak sah, yakni dengan memalsukan dokumen hak kepemilikan.
Pihak panitia pengadaan tanah Kota Surabaya juga sudah mengakui kesalahannya dalam memberikan uang ganti rugi kepada Suleman pada 26 September 1998.
Atas peristiwa itu, penasihat hukum Allan telah melaporkan Suleman ke Polrestabes Surabaya dan diproses secara hukum dan ditetapkan sebagai tersangka.
"Suleman mengaku bahwa dia telah membuat dokumen palsu petok D 151 menjadi petok D 7464 dan 7465, (dialihfungsikan) menjadi tanah negara dengan status hak pakai," ungkap Sajali.
Lebih lanjut, Sajali menjelaskan bahwa pada tahun 2014, Allan Tjipta Rahardja menggugat Suleman ke PN Surabaya, namun gugatan ditolak. Kemudian, pada tingkat banding, gugatan Allan dikabulkan.
Suleman kemudian melakukan upaya hukum kasasi, namun kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya.
"Suleman dan lurah sempat mengajukan PK (Peninjauan Kembali) tahun 2022 dan putusan tetap ditolak. Keputusan sudah final dan inkrah, objek lahan itu secara sah adalah milik Allan selaku ahli waris Kamto Tjiptaraharja," pungkasnya. (*)
Editor: trisukma
What's Your Reaction?